Selasa, 26 Oktober 2010

" PEMIMPIN MENURUT ISLAM "

Rasulullah bersabda, 
”Tidaklah  Allah SWT  mengutus  seorang  nabi  atau   menjadikan  seorang khalifah kecuali ada bersama  mereka  itu   golongan  pejabat  (pembantu).  Yaitu   pejabat   yang menyuruh  kepada  kebaikan  dan  mendorongnya  kesana,  dan  pejabat  yang  menyuruh  kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana.
Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).

Dikantor  saya  dimana  saya  bekerja  saat  ini pimpinan kantor/ manajer belum ada gantinya karena manajer lama pensiun Sementara ini kantor dikendalikan Assisten Manajer Keuangan dan SDM dan Assisten Manajer Konstruksi.

Lalu bagaimana seharusnya Sifat/ Sikap Pimpinan/ Manajer dan Assistennya menurut Islam ?

Menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut,  karena kelak  Allah  SWT  akan  meminta  pertanggung  jawaban  atas  kepemimpinannya itu.

Dalam  Islam  sudah  ada  aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut,diantaranya sebagai berikut:

Niat yang Lurus
Hendaklah  saat  menerima  suatu  tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah SWT perintahkan.  Lalu iringi hal itu  dengan mengharapkan keridhaan - Nya saja.   Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban,  bukan kesempatan dan kemuliaan.

Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda  kepada  Abdurrahman  bin   Samurah Radhiyallahu’anhu,   ”W a h a i    A b d u l Rahman bin samurah!    J a n g a n l a h    kamu  meminta untuk menjadi pemimpin Sesungguhnya  jika  kepemimpinan  diberikan  kepada    kamu   karena  permintaan,   maka kamu  akan  memikul  tanggung  jawab  sendirian,   dan  jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya “
(Riwayat Bukhari dan Muslim)

Berpegang pada Hukum Allah.
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,

Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari jabatannya

Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah  bersabda,  ” Tidaklah   seorang   pemimpin   mempunyai   perkara   kecuali  ia akan datang dengannya  pada  hari  kiamat  dengan  kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.”
(Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).

Tidak Menutup Diri Saat Diperlukan Bawahan/ Rakyat.
Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap pengaduan dan permasalahan bawahan/rakyat.
Rasulullah bersabda, ” Tidaklah  seorang  pemimpin  atau  pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat,  dan kemiskinan kecuali Allah  akan  menutup  pintu -pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).

Menasehati bawahan/ rakyat
Rasulullah bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh – sungguh   dan  tidak  menasehati  mereka,  kecuali  pemimpin  itu tidak akan masuk surga bersama mereka (bawahan/ rakyatnya).”

Tidak Menerima Hadiah
Seorang  bawahan/ rakyat  yang  memberikan  hadiah  kepada  seorang  pemimpin  pasti  mempunyai maksud tersembunyi,  entah ingin mendekati atau mengambil hati.
Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari bawahan/ rakyatnya.
Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.”
(Riwayat Thabrani).

Lemah Lembut
Doa Rasullullah,
"Ya Allah,  barang siapa  mengurus  satu  perkara  umatku  lalu  ia  mempersulitnya,  maka persulitlah ia, dan  barang siapa  yang  mengurus  satu  perkara  umatku  lalu  ia  berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya."

Tidak Meragukan dan Memata-matai Rakyat.
Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).

Inilah Pemimpin !

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan, Pemimpin adalah pelayan umatnya. Itulah sikap pemimpin dalam Islam. Bukan minta dilayani

Ini ada cerita :

Setelah diumumkan pengangkatannya menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz menyendiri di rumahnya. Tak ada orang yang menemui, beliau pun tak mau keluar menemui seorang.

Dalam kesendirian itu, beliau menghabiskan waktu dengan bertafakkur, berdzikir, dan berdoa. Pengangkatannya sebagai khalifah tidak disambutnya dengan pesta, tetapi justru dengan cucuran air mata.

Tiga hari kemudian beliau keluar.
Para
pengawal menyambutnya, hendak memberi hormat. Umar malah mencegahnya.  " Kalian  jangan  memulai  salam  kepadaku,  bahkan  salam  itu  kewajiban  saya kepada kalian."

Itulah perintah pertama Khalifah kepada pengawal-pengawalnya.

Umar  menuju  ke  sebuah  ruangan.  
Para
 pembesar dan tokoh telah menunggunya. Hadirin terdiam dan serentak bangkit berdiri memberi hormat. Apa kata beliau?

" Wahai  sekalian  manusia,  jika  kalian  berdiri,  saya  pun  berdiri.  Jika kalian duduk, saya pun duduk. Manusia  itu sebenarnya  hanya  berhak  berdiri  di hadapan  Rabbul-'Alamin."   Itulah  yang  dikatakan pertama kali kepada rakyatnya.

Rendah Hati
Sikap pemimpin dalam Islam, sejatinya memang harus demikian.   Sebagaimana kata    R a s u l u l l a h Shallallahu 'alaihi wa sallam, Pemimpin adalah pelayan umatnya.Sabda Nabi itu sungguh istimewa, sebab seorang pemimpin biasanya seperti seorang raja. Dan sebagai Khalifah, Umar bin Abdul Aziz mewarisi budaya yang demikian itu; hidup dalam gelimang kemewahan dan kekuasaan.

Ternyata   U m a r    tidak  serta  merta  meneruskan  b u d a y a   yang   sebenarnya  menguntungkannya secara pribadi itu.  Beliau tak mau dihormati berlebihan dan hidup dalam  kemewahan.  Ia memilih sikap rendah hati dan sederhana.

Sebagai pemimpin besar,  bersikap rendah hati, sederhana, dan melayani tentu tidak mudah. Apalagi bila kesempatan bermewah-mewah itu memang terbuka di depan mata, siapa tak tergiur?

Di negeri kita ini,  kedudukan  dan  jabatan  malah  jadi  rebutan.   Bahkan  banyak  yang  mati - matian berkorban apa saja, dengan segala cara, untuk mendapatkannya.  Setelah  berhasil  meraihnya,  pertama kali yang dilakukan  adalah  pesta kemenangan.   Kemudian  segeralah  digunakan  aji  mumpung.  Sim salabim, jadilah OKB (Orang Kaya Baru).  
Gaya  hidup  dan pergaulannya berbeda dengan sebelumnya. Seolah menikmati kemewahan itulah memang impiannya.

Mari kita membuka hati ini. Dengan berbagai upaya dan
gaya hidup mewah itu, apa sih  sesungguhnya dicari?  Dengan mobil mewah,  rumah  megah,  pakaian serba mahal, apa sebenarnya  yang  dirindukan lubuk hati? Mungkin terdetak dorongan hidup terhormat dan dimuliakan.

Tentu mencapai hidup seperti itu suatu yang normal saja. Malah aneh kalau ada orang bercita-cita hidup hina  dan  direndahkan.   Tetapi  benarkah  kemuliaan  dan  kehormatan  dapat  dicapai  dengan  hidup berbungkus kemewahan? Coba sebutkan nama-nama orang yang menggetarkan hati karena kemuliaan dan kehormatannya. Cermati satu per satu. Benarkah hati Anda terkesan karena kemewahan mereka?

Mari  kita  bercermin  kepada Umar. Kita tenangkan  hati  dan  jernihkan pikiran sejenak.  Andai beliau memilih cara hidup mewah dan bermain kekuasaan sebagaimana raja-raja yang lain,  akankah memiliki nama harum seperti saat ini?

Mungkin  saja  kemewahan singgasana bisa menjadi topeng kemuliaan di muka bawahan/ rakyat. Tetapi berapa lama kemuliaan  seperti itu bisa bertahan?

Lihatlah para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kesombongan dan kemewahan. Bagaimana akhir kehidupan mereka? Masa tua tidak hidup damai, malah gundah gulana karena dijerat hukum. Terbukti bahwa kemuliaan yang dibungkus materi hanyalah semu dan tipuan belaka.
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menyukai orang-orang sombong.

















Misi Mulia

Ya, memang tidak mudah untuk selalu rendah hati dan memilih hidup melayani. Apalagi kalau terjebak pada dorongan biologis dan egoisme semata. Maunya justru dilayani.

Ketika sedang memegang kekuasaan, yang dipikirkan adalah apa yang dapat diambil dengan posisi ini, bukan kebaikan apa yang dapat diberikan pada orang lain. Melayani dirasakan sebagai suatu kehinaan, seolah yang harus melakukan adalah orang-orang rendahan. Padahal melayani inilah misi mulia yang sebenarnya diamanahkan Allah kepada hamba-Nya yang terpilih; Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti jejaknya.
Dengan berbagi rahmat, tersebarlah belas kasih dan kedamaian dalam kehidupan.

Dalam bekerja, seorang pemimpin akan senantiasa berpikir bagaimana    karyawannya sejahtera.
Karyawan pun berpikir bagaimana bisa memberikan layanan terbaik melalui pekerjaannya.

Sebagai  pemimpin keluarga,  seorang  ayah  yang  mengasihi keluarganya akan mengantar pada suasana sakinah. Anak-anaknya pun termotivasi untuk meneladani dan berbakti kepada kedua orangtuanya.

Setiap orang yang melayani dengan ikhlas berarti telah berpartisipasi menebar rahmat ke seluruh alam. Itulah tugas terhormat seorang pemimpin. Dan setiap kita pada hakikatnya adalah pemimpin, begitu sabda Rasulullah.

Bila  setiap  orang  berpikir  minta  dilayani,  yang terjadi justru krisis. Pemimpin minta dilayani stafnya. Majikan memeras para karyawan. Petugas mempersulit rakyat. Orientasinya bukan rahmatan lil ‘alamin,
tetapi keuntungan pribadi.

Kekayaan alam yang mestinya untuk kesejahteraan rakyat, malah dikuras untuk bermewah-mewah diri dan kroninya. Hutan digunduli sehingga banjir dan longsor di sana-sini. Rakyatlah yang jadi korban.

Melihat  perilaku  pemimpin  yang seperti itu, rakyat pun ikut-ikutan mencari keuntungan sendiri. Sudah kaya dan berkecukupan,  namun belum bersyukur  dan malah berebut bantuan yang mestinya untuk fakir miskin.  Sungguh cara hidup yang  tidak  akan  berujung  kepada  kemuliaan, tetapi justru kehinaan. Dan inilah yang banyak disaksikan di sekeliling kita sekarang.
 














Agar mampu rahmatan lil 'alamin, kita perlu mentransformasi diri. Pusat diri yang sebelumnya egoisme dan hawa nafsu, harus diganti dengan kebeningan nurani.

Sumber Inspirasi

Bayangkan kalau ada orang yang rendah hati, menghormati sesama, dan suka melayani. Tidakkah hati Anda menyukai dan terkesan dengan keikhlasannya?Orang yang demikian itu akan membahagiakan hati sesama. Kalau dia seorang bapak, keluarganya akan menghormatinya dengan tulus. Kalau seorang ibu, anak-anaknya tentu akan senantiasa merindukan. Kalau seorang pemimpin, tentu akan menginspirasi hati sekalian rakyatnya.

Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan keberkahan rendah hati. Meski hanya menjabat dua tahun, terjadi perubahan besar. Akhlak rakyatnya yang sebelumnya buruk seketika berubah menjadi baik.

Umat akan terinspirasi pemimpin yang rendah hati dan teramat jujur itu. Yang menjadi pembicaraan heboh saat itu di berbagai sudut
kota, warung, sampai pinggiran ladang di desa adalah masalah iman dan amal shalih. Mungkin seheboh dunia ini ketika dihipnotis oleh perhelatan Piala Dunia yang belum lama berakhir.

Masyarakat giat bekerja dan sejahtera. Kemakmuran mencapai puncaknya. Rakyat berdaya ekonominya dan mereka berlomba menunaikan zakat. Fakir miskin terentaskan sehingga sangat sulit mencari orang yang menerima zakat. Memberi dan memberi, itu yang menjadi paradigma mereka. Bukan meminta dan meminta.
Alam dan binatang pun digambarkan turut berbahagia. Para gembala yang biasanya takut kambingnya terancam dimakan oleh serigala, saat itu kedua binatang ini seolah berteman saja. Pintu keberkahan dibuka Allah bila manusia telah menunaikan tugas sebagai khalifah.

Atas prestasi gemilang itu, tidak mengherankan jika beliau digolongkan sebagai Khulafa'u Ar-Rasyidin kelima setelah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.

Pemimpin adalah salah satu elemen yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan. Karena pemimpin memiliki peranan yang sangat vital dalam rangka untuk mencapai satu tujuan. Selain itu, seorang pemimpin juga memiliki andil yang sangat besar bahkan utama dalam mengarahkan pencapaian suatu tujuan melalui jalur-jalur yang diridhai oleh Allah swt
.
Dalam era yang serba kompleks dan semakin kompleks ini baik dalam segi aktivitas maupun permasalahannya,  figure seorang  pemimpin  yang  baik  telah menjadi satu kelangkaan yang luar biasa. Tentunya, figur yang baik ini tidak lain adalah dilihat dari sudut pandang Islam. Karena, hanya Islamlah yang mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa menjadi pemimpin yang baik dan menjalankan kepemimpinan tersebut dengan baik. Karena setiap pemimpin akan bertanggungjawab atas kepemimpinannya kelak kepada Allah swt. Karena di dalam ajaran Islam telah disampaikan bahwa setiap diri atau setiap manusia itu pada dasarnya adalah pemimpin. Minimal, ia adalah pemimpin bagi diri sendiri untuk membawa langkah kehidupannya senantiasa berada di atas jalur yang diridhai oleh Allah swt dalam segala hal.
Beberapa penjelasan di atas menjadi salah satu alasan mengapa pemimpin dan kepemimpinan menjadi salah satu pokok bahasan yang terdapat di dalam Islam, bahkan Islam sangat memperhatikan masalah pemimpin dan atau kepemimpinan tersebut.

Pemimpin adalah kompas dan peta yang akan menunjukkan kemana kehidupan ini harus melangkah dan dibawa. Tanpa kompas dan peta, maka perjalanan hidup dapat dengan mudah tersesat. Pemimpin adalah kompas  dan  peta  yang  berkualitas  tinggi,   yang  tidak  mudah  koyak  atau  rusak  sehingga  arah dan tujuannya akan tetap jelas.   Pemimpin  adalah  kompas  dan  peta berkualitas tinggi yang dapat bertahan dalam berbagai perlakuan, sehingga ia dapat memberikan arah dan petunjuk yang benar, tidak membawa kepada kesesatan dan kebinasaan.

Pemimpin adalah ujung tombak dari sebuah kehidupan, jika ujung tombak itu tumpul maka kehidupan akan vakum, tidak berdaya guna,  tidak efektif.  Untuk itu, Islam  memberikan  banyak sekali petunjuk kepada manusia yang pada dasarnya  adalah  seorang  pemimpin  untuk  menjalani  kepemimpinannya.
Ada beberapa hal yang hendaknya terdapat atau dimiliki oleh setiap pemimpin yang akan menjalankan kepemimpinannya, sehingga kepemimpinannya dapat mencapai tujuan namun tetap dalam ridha Allah swt, bukan mencapai rujuan dengan cara yang dilaknat atau menimbulkan murka Allah swt. Berikut ini adalah beberapa hal yang dalam kacamata Islam hendaknya harus ada di dalam jiwa setiap pemimpin sehingga ia dapat membawa orang-orang yang berada di dalam kepemimpinannya menuju keselamatan di dunia dan di akhirat:

Jujur
Pemimpin adalah panutan bagi orang-orang yang berada di dalam kemimpinannya. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki sifat jujur. Jujur dalam perkataan dan perbuatan, sehingga antara apa yang disampaikannya melalui lisan seiring dengan apa yang senantiasa diperbuatnya.
Orang yang tidak memiliki sifat jujur tidaklah layak menjadi seorang pemimpin, karena orang semacam ini adalah termasuk salah satu orang yang dilaknat oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.  

Allah SWT berfirman di dalam Al Quran yang artinya:




















Sementara ini dulu yang kutulis saat ini dari copy/ paste dari beberapa sumber ! Paling tidak bermanfaat buat saya pribadi, mudah2an bisa menambah wawasan sidang pembaca blog-ku !






Tidak ada komentar: