Rabu, 06 Oktober 2010

MENGAPA KITA TIDAK BERUSAHA RENDAH HATI TANPA AROGANSI ?

Ada   peribahasa  Jawa  yang  mengatakan :  Ngluruk  tanpa  bala,  menang  tanpa ngasorake,  lan  sugih  tanpa  bondo.   Yang  artinya  menyerang  tanpa  pasukan, menang tanpa harus menindas dan kaya tanpa harta. Filosofi yang terkandung di dalamnya menunjukkan kerendahan hati yang  sangat  dalam. Dalam mengkritik atau memenangkan  suatu persaingan kita  tidak  perlu  menunjukkan kehebatan maupun memamerkan apa yang kita miliki, bahkan ketika kita menang sekalipun tidak ada rasa pamer atau kesombongan yang terlihat.

Orang yang Rendah hati  akan  membahagiakan  hati  sesama.  Kalau dia seorang bapak,  keluarganya  akan  menghormatinya  dengan  tulus.   Kalau  seorang  ibu, anak - anaknya  tentu  akan  senantiasa  merindukan.  Kalau  seorang  pemimpin, manajer, asmen tentu  akan  menginspirasi  hati sekalian bawahannya.
Mari kita belajar rendah hati, dengan  cara  mengagumi  dan  mengapresiasi  kelebihan  rekan - rekan kita yang tidak kita miliki.

Rendah hati mungkin adalah sebuah kata yang hampir hilang dari perbendaharaan bahasa kita. Hampir setiap hari kita mendengar atau menyaksikan betapa kita, menunjukkan arogansi kekuasaan atau kekayaan, kehebatan yang kita miliki. Saya memilik seorang sahabat yang sangat rendah hati, dia selalu menyapa setiap orang tanpa melihat status sosial, dia mau mengulurkan tangan untuk siapa saja di sekelilingnya tanpa rasa malu atau gengsi, dia melakukan dengan sikap rendah hati.
 
Kerendahan hati merupakan salah satu indikator dari tingginya kecerdasan spiritual seseorang. Seorang yang tidak bisa menunjukkan sikap atau karakter rendah hati, berarti belum mencapai kedamaian dengan dirinya. Dari hasil riset yang dilakukan oleh Gay Hendrick, PhD dan Kate Ludeman, PhD terhadap 800-an manajer perusahaan yang mereka tangani selama 25 tahun, salah satu kesimpulannya adalah bahwa para pemimpin yang berhasil membawa perusahaan atau organisasinya ke puncak kesuksesan biasanya adalah orang yang memiliki integritas, mampu menerima kritik, rendah hati, dan mengenal dirinya dengan baik. Para pemimpin yang sukses ini ternyata memiliki kecerdasan spiritual yang jauh lebih tinggi dari manusia rata-rata. Mereka justru adalah manusia yang rendah hati.

Sayangnya, tidak semua orang mengerti bahwa rendah hati dan low-profile itu identik dengan kemajuan dan progresifitas. Karena itu, tidak jarang kita salah memahami logika realitas kehidupan. Bagi yang berpendidikan rendah itu dapat dipahami, tapi agak aneh kalau sudah berpendidikan tinggi masih tidak bisa bersikat rendah hati.

Pribadi yang rendah hati biasanya justru memandang bahwa orang lain sebagai ciptaan Tuhan memiliki keunikan dan keistimewaan, sehingga dia senantiasa membuat orang lain merasa penting. Karena sesungguhnya setiap pribadi adalah istimewa. Setiap orang adalah spesial, unik, dan berhak untuk dihargai. Manusia adalah pribadi yang harus diperlakukan khusus. Manusia adalah makhluk yang sangat sensitif. Jika kita meragukan hal ini, lihat diri kita sendiri dan perhatikan betapa mudahnya kita merasa disakiti atau tersinggung.

Salah satu ciri kerendahan hati adalah mau mendengar pendapat, saran dan menerima kritik dari orang lain. Sering dikatakan bahwa Tuhan memberi kita dua buah telinga dan satu mulut, yang dimaksudkan agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Kadang-kadang hanya dengan mendengarkan saja kita dapat menguatkan orang lain yang sedang dilanda kesedihan atau kesulitan. Dengan hanya mendengar, kita dapat memecahkan sebagian besar masalah yang kita hadapi. Mendengar juga berarti mau membuka diri dan menerima, suatu sifat yang menggambarkan kerelaan untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain maupun diri kita sendiri.

Kemudian………. Apa itu Arogansi ?

Arogansi artinya kesombongan, keangkuhan atau kecongkakan. Dari mana arogansi ini timbul atau produk siapakah arogansi ini?

Disadari ataupun tidak dalam kenyataan masyarakat dewasa ini, mulai dari lingkup yang kecil sampai dengan lingkup yang besar pada konteks berbangsa dan bernegara, segala yang diharapkan bersama sebagai perwujudan masyarakat yang tergambar di awal tadi sangatlah sulit untuk bisa terwujud, semua tak lain diakui maupun tidak kita ini masih sangat jauh untuk mempunyai sifat-sifat kemanusiaan yang sangat mulia tersebut. Dalam berkiprah secara sadar ataupun tidak kita masih lebih sering untuk ingin menonjolkan diri pribadi sebagai prioritas utama daripada yang lainnya, sehingga seringkali dalam langkah kita masih saja dijumpai penuh dengan sifat-sifat egoisme yang tinggi serta Arogansi diri yang besar.

Memanglah mungkin dalam kehidupan ini kita dalam posisi yang tinggi, katakanlah sebagai pimpinan perusahaan atau di posisi yang lain, dimana sah-sah saja kita pergunakan egoisme dan arogansi tersebut dalam melangkah, tanpa memperhatikan factor-faktor lain, yang itu berdampak apabila terjadi ketidaksesuaian dengan dirinya maka semua itu mau atapun tidak pasti akan membawa dampak yang jelek bagi diri orang tersebut.

Sungguh sangatlah kondisi yang dilematis, dimana kita semua menginginkan semua itu dengan penuh kedamain tapi disisi lain dalam diri masih berpedoman pada sifat-sifat yang buruk sehingga bisa menyebabkan masalah demi masalah akan timbul yang nantinya pasti akan mengganggu keseimbangan hidup yang telah terbina dengan baik. Ini bisa menjadi gambaran nyata sekaligus juga bisa menjadikan renungan kita semua untuk bisa sama-sama menjauhi sifat buruk tersebut sehingga dalam melangkah, kalau dikutib dari sebuah kita, maka hendaknya kita bisa melangkah dengan penuh kerendahan hati, kesabaran serta berbesar hati dalam setiap kondisi dan yang paling penting adalah bisa menjaga setiap perkataan yang keluar dari lesan ini serta tidak mudah tersinggung dengan orang lain, sehingga tidak berdampak yang bisa menyakiti hati orang lain, walaupun mungkin semua itu sudah menjadi kebiasaan kita.

"Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Aad? (6) (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi (7) Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain (8) Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah (9) Dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak) (10) Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri (11) Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu (12) Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab (13)." (QS. Al-Fajr: 6-13).

Seorang CEO dari perusahaan Fortune 100 mengatakan, “Success can lead to arrogance. When we are arrogant, we quit listening. When we quit listening, we stop changing. In today’s rapidly moving word if we quit changing, we will ultimately fail” (Sukses bisa membuat kita jadi arogan. Saat kita arogan, kita berhenti mendengarkan. Ketika kita berhenti mendengarkan, kita berhenti berubah. Dan di dunia yang terus berubah dengan begitu cepatnya seperti sekarang, kalau kita berhenti berubah, maka kita akan gagal).
Penyakit mental ini bisa menjangkiti apa dan siapa saja, mulai dari organisasi, produk, pemimpin, sampai orang biasa. Khusus pada tulisan ini, kita akan membicarakan soal manusianya.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam"; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud (11) Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (12) Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka ke luarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina" (13)." (QS. Al-A'raf: 11-13).

Orang sukses lalu bersombong ria sebenarnya patut disayangkan. Bayangkan saja, saat berjuang keras menggapai kesuksesan, mereka begitu terbuka untuk belajar. Mereka mau mendengarkan. Mereka mau berjerih payah, berani hidup susah, dan mengorbankan diri. Bahkan, mereka tampak sangat ‘merakyat’ hidupnya. Akan tetapi, itu dulu. Sayang sekali, saat kesuksesan datang, mereka lupa diri. Mungkin dia akan berkata, “Saya sudah berhasil mencapai yang terbaik. Sekarang, Andalah yang harus mendengarkan saya. Saya tidak perlu lagi mendengarkan Anda.”

Hal itu diperparah lagi ketika mereka dikelilingi oleh para ‘yes man’ yang tidak berani angkat bicara soal kekurangan orang ini. Hal ini membuat orang itu semakin ‘megalomania’, pongah, angkuh, dan egois. Ia terbelenggu oleh kesuksesannya sendiri. Ia tidak pernah belajar lagi.

Arogansi bisa menghampiri siapa saja. Pada saat saya mengikuti  diklat , saya pernah mendengar kisah tentang seorang trainer yang begitu arogan. Dia sempat membuat banyak orang berdecak kagum. Buku-buku best seller pun lahir di tangannya. Akan tetapi, arogansi membuatnya ‘dibuang’ dari komunitas di negaranya. Celakanya, sang trainer menyalahkan para rekannya. Dia pun dikelilingi oleh mereka yang selalu berkata ‘ya’ padanya.
Dari situ, kita belajar banyak untuk hati-hati. Kesuksesan jangan membuat kita arogan dan cenderung self centered serta tidak mau mendengarkan orang lain.

Apabila orang berhenti belajar dan merasa diri sudah selesai. Tanpa dia sadari, lingkungannya terus belajar, berinovasi dan berkembang. Sementara dia mandek di posisinya. Akibatnya, kue kesuksesan yang dia peroleh lama-kelamaan menjadi basi. Tanpa sadar, kompetitor mereka bergerak jauh meninggalkan dirinya di belakang. Mereka terjebak dalam retorika, kalimat, jurus yang itu-itu saja alias usang. Arogansi telah menutup hati dan pikirannya untuk kreatif menemukan jurus dan tip-tip baru mempertahankan sekaligus mengembangkan kesuksesannya. Di sinilah, arogansi berujung pada malapetaka dan kehancuran.

Jadi, bagaimanakah agar kesuksesan kita tidak berubah menjadi arogansi?

Pertama- Aware (sadar) dengan sikap dan tingkah laku kita.
Meskipun sudah sukses, kita perlu memberi waktu untuk menyadari sikap dan perilaku kita di mata orang lain. Selalulah sadar apakah nada dan ucapan serta tindak tanduk kita sekarang semakin membuat banyak orang lain terluka? Apakah kita masih tetap menghargai orang lain? Apalagi orang-orang yang telah turut membawa Anda ke level sukses sekarang, apakah Anda hargai? Jangan sampai, tatkala masih bersusah payah, kita begitu respek, tetapi setelah sukses justru mencampakkan mereka.
Seseorang dikatakan berhasil bukan sekedar ia sukses akan tetapi ketika orang lain mengatakan ia berhasil dan turut merasakan keberhasilan yang pernah diraihnya. Jadi keberhasilan dikatakan sempurna jika lingkungan sekitar mengatakan ia berhasil dengan cara yang benar dan mereka merasakan berkahnya. Namun sering kali kita lupa untuk intropeksi diri, yang membuat diri ini tumbuh dalam kekurangan rasa emosional dan spiritual.

Kedua- Waspadai umpan balik yang hanya menghibur kita tetapi tidak membuat kita belajar lagi.
Hati-hati dengan orang di sekeliling kita yang hanya mengatakan hal bagus, tetapi tidak berani memberikan masukan yang baik. Kadang, masukan negatif juga kita perlukan demi perkembangan, sesukses apa pun kita. Pada dasarnya, setiap orang senang dipuji. Bahkan mereka rela mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk dipuji. Namun pujian yang berlebihan justru dapat membuat seseorang semakin jatuh dalam kesombangannya dan ketidakmampuan dirinya melihat kenyataan dalam hidupnya

Ketiga- Awasi dan peka dengan perubahan yang terjadi. Dalam buku Who Moved My Cheese disimpulkan bahwa kita harus selalu mencium keju kita, apakah sudah basi ataukah mulai diambil orang lain. Kita pun harus terus mencium dan peka bagaimana orang lain mengembangkan dirinya serta bisa jadi ancaman bagi kita. Jangan pula merasa diri paling hebat dan lupa belajar

Keempat- Sopan dan rendah hati untuk belajar dari orang lain.

Jadi menjalani hidup ini seharusnya :

Menghormati sesama, dan suka melayani. Tidakkah hati Anda menyukai dan terkesan dengan keikhlasannya? Memang tidak mudah untuk selalu rendah hati dan memilih hidup melayani. Apalagi kalau terjebak pada dorongan biologis dan egoisme semata. Maunya justru dilayani.

Rendah hati pada hakekatnya bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangan sikap tenggang rasa, seta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban hidup ini.
Rendah hati bukan berarti merendahkan diri dan menutup diri melainkan secara aktif mendengarkan, berbagi, dan berempati sehingga terjalin hubungan harmonis dua arah. Dia dapat menyesuaikan kondisi emosi dan egonya untuk menempati kondisi emosi dan ego teman bicaranya sehingga teman merasa didengarkan dan dihargai.

Sikap rendah hati bukan akan membuat kita jatuh martabat, sebaliknya, malah akan membuat kita 'naik'. Naik kredibilitas, naik martabat, dan yang lebih penting lagi, naik kemampuan dan meningkat kemajuan kita. Dengan bersikap rendah hati kita melakukan penabungan dalam bank emosi kita.

"Sikap rendah hati bukan akan membuat kita jatuh martabat, sebaliknya, malah akan membuat kita 'Terangkat' "


Tidak ada komentar:

Posting Komentar