Senin, 29 November 2010

"TOMAT"

Senin pagi ! hari ini ! Seperti hari2 yang lain kecuali Sabtu dan Minggu seperti biasa jam 06.WIB, saya berangkat dari rumah Surabaya Timur laut menuju Surabaya Selatan. Mengantar si bungsu di SMA 10 berputar balik  lewat  Plaza Marina ,  Jl. A. Yani,  drop juragan perempuan  di depan IAIN yang akan nyambung angkota jurusan Krian-Mojokerto.
Radio mobil terus menyala bosan Radio Suara Surabaya yang selalu menyiarkan keruwetan lalu lintas,
pindah gelombang ada lagu yang menghentak menambah semangat untuk bekal berkarya hari ini.

Mau tau syairnya inilah dia :

Jumat, 12 November 2010

KHOTBAH JUM'AT SIANG TADI !

Setiap mendengarkan kotbah Jum.at  di masjid konsentrasiku untuk mendengarkan /memahami / mencerna  paling banyak 50 persen sisanya menguap berusaha sadar sampai air mata keluar akibat mengantuk. Bahkan sampai waktu sholat pernah dibangunkan jamaah lain karena ketiduran. Mungkin terlalu banyak mendengarkan kotbah baik sholat jum’at, pengajian atau keimanan saya yang tipis.

Tetapi Sholat Jum’at siang tadi lain. Walaupun sudah berulang kali  kisah Qurban saya ikuti. Yang ini lain,  saya mendengarkan dengan konsentrasi penuh, bahkan rasanya kok sebentar saja, masih kurang panjang khotbahnya.

Mungkin karena khotbah jum’at siang tadi cara penyampaian/ ustadnya ganteng  suaranya dan ngajinya enak didengar, atau saya tiba2 saya teringat ibuku, karena aku adalah anak yatim piatu atau yang lain.

Mau tahu isinya khotbah tadi siang ?

Caba bacalah isinya kira2 seperti ini :

Qurban biasanya dilaksanakan berbarengan dengan ritual ibadah haji, sedangkan bagi mereka yang belum mampu berhaji, disunnahkan berpuasa dan menyembelih qurban. Ritual Ibadah Haji seharusnya mampu mengingatkan umat Islam pada perjuangan Siti Hajar ketika mempertahankan hidupnya bersama Ismail di Mekkah, bukan hanya membangkitkan ingatan kepada penyembelihan Ismail oleh Ibrahim yang akhirnya tidak terjadi itu.

Latar belakang qurban yang dialami Nabi Ibrahim inilah yang paling banyak dikenal umat Islam hingga saat ini. Ketika Nabi Ibrahim telah berusia 100 tahun, beliau belum dikaruniai putra oleh Allah dan beliau selalu berdo’a: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku anak yang shalih”. Kemudian dari isterinya yang kedua, Siti Hajar, lahirlah seorang putra yang diberi nama Ismail. Hajar dan Ismail diperintahkan berhijrah ke Makkah diantar oleh Ibrahim. Beliau meninggalkan beberapa potong roti dan sebuah guci berisi air untuk Siti Hajar dan Ismail. Ketika Siti Hajar kehabisan makanan dan air, ia melihat ke sebelah timur. Di sana terdapat air yang ternyata hanyalah fatamorgana di Bukit Sofa. Ismail ditinggalkan dan Siti Hajar terus mencari air lalu naik ke Bukit Marwah serta kembali ke Sofa sampai berulang tujuh kali. Ia tidak juga mendapatkan air hingga kembali ke Bukit Marwah. Ismail yang kehausan lalu menendang-nendang tanah yang kemudian—dengan izin Allah—dapat mengeluarkan sumber air. Siti Hajar berlari ke bawah sambil berteriak kegirangan: “zami-zami”. Tempat itu lah kemudian dikenal dengan sumur atau mata air Zam-zam.

Nabi Ibrahim setelah mengantarkan Hajar dan Ismail di Mekkah lalu berangkat lagi ke Palestina sampai Ismail menjelang usia remaja. Nabi Ibrahim diperintahkan lagi oleh Allah untuk kembali ke Mekkah menengok Hajar dan Ismail yang sudah mulai beranjak besar.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa usia Ismail sekitar 6 atau 7 tahun. Sejak dilahirkan sampai sebesar itu Nabi Ismail senantiasa menjadi anak kesayangan. Tiba-tiba Allah memberi ujian kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam surat Ash-Shaffaat: 102 : “Maka ketika sampai (pada usia sanggup atau cukup) berusaha, Ibrahim berkata: Hai anakku aku melihat (bermimpi) dalam tidur bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah bagaimana pendapatmu” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Latar belakang qurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim adalah ketika ia bermimpi menyembelih Ismail. Mimpi itu yang sering disebut al-ru’ya al-shadiqah (mimpi yang benar). Dalam mimpinya, Ibrahim mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih putranya Nabi Ismail. Ketika sampai di Mina, Ibrahim menginap dan bermimpi lagi dengan mimpi yang sama. Demikian juga ketika di Arafah, malamnya di Mina, Ibrahim bermimpi lagi dengan mimpi yang tidak berbeda pula. Ibrahim kemudian mengajak putranya, Ismail, berjalan meninggalkan tempat tinggalnya, Mina. Baru saja Ibrahim berjalan meninggalkan rumah, syaitan menggoda Siti Hajar: “Hai Hajar! Apakah benar suamimu yang membawa parang akan menyembelih anakmu Ismail?”. Akhirnya Siti Hajar, sambil berteriak-teriak: “Ya Ibrahim, ya Ibrahim mau diapakan anakku?” Tapi Nabi Ibrahim tetap melaksanakan perintah Allah SWT tersebut. Di tempat tersebut pada tanggal 10 Dzulhijjah, jamaah haji diperintahkan melempar batu dengan membaca: Bismillahi Allahu Akbar. Hal tersebut mengandung arti bahwa manusia harus melempar syaitan atau membuang sifat-sifat syaitaniyyah yang bersarang di dalam dirinya, dengan tetap mempertahankan sifat-sifat kemanusiaan dan ke-Tuhanan.

Setibanya di Jabal Qurban, sekitar 200 meter dari tempat tinggalnyaa. Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Rencana itu pun berubah drastis, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat Ash-Shaffaat ayat 103-107:





“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. (Allah berkata) “Kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor hewan yang besar “.

Pada masa Nabi Muhammad, qurban pun diperintahkan kembali di dalam surat Al-Kautsar: 1-3: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu, dia lah yang terputus (dari nikmat Allah)”. Berbicara tentang kenikmatan, Allah mengingatkan: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidak akan dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim: 34). Surat Al-Kautsar ini lah yang kemudian dijadikan dasar hukum bagi umat Nabi Muhammad untuk berqurban bagi yang mampu.

Dalam kisah Ibrahim, bila kita menengok kepada posisi Hajar dan Sarah dalam konteks qurban yang dilakukan Nabi Ibrahim dan Ismail. Seandainya tanpa “izin” Sarah, Ibrahim tidak akan meminang Hajar untuk dijadikan sebagai isteri kedua. Poligami Ibrahim yang bertujuan untuk ikhtiar memperoleh keturunan pada awalnya adalah bagian dari pengorbanan Sarah yang rela memberikan suaminya demi harapan keturunan dari Hajar. Pun pengorbanan Hajar ketika ia harus mengarungi hidup tanpa Ibrahim (suami tercinta) di negeri yang sangat tandus dan gersang, Makkah saat itu.
Anehnya, semua pengorbanan perempuan lagi-lagi “nyaris tak terdengar”, karena sejarah lebih banyak menonjolkan peran laki-laki, Ibrahim dan Ismail. Itu sebabnya ingatan kita menjadi lebih kuat terpatri kepada pengorbanan Ismail yang rela dan siap disembelih oleh ayahnya, dan bagaimana perjuangan Ibrahim menepis keraguan Hajar karena godaan syaitan. Tambahan lagi, adanya syaithan yang menggoda Hajar seakan telah menjadi sebuah keniscayaan bahwa perempuan dikesankan memang sangat mudah digoda dan karenanya dikesankan pula ‘biasa menjadi penggoda’ untuk sebuah itikad atau cita-cita yang baik, seperti yang sebelumnya dikesankan menimpa Hawa ketika Iblis menggodanya untuk memakan buah khuldi dulu.

Memunculkan sudut pandang perempuan dalam sejarah qurban memang menjadi sulit. Belakangan, yang mengemuka adalah penafsiran-penafsiran dan upaya penerjemahan situasi dan konteks yang terjadi serta membandingkannya dengan cerita-cerita sejarah serupa dari sumber lain. Tidak salah jika kemudian ada banyak ragam penafsiran sebagai bagian dari upaya menarik atau melihat lebih cermat ‘suara’ perempuan dalam kisah tersebut.

Akan menjadi lebih bijaksana, jika kita tidak saja mengutip sejarah tersebut secara taken for granted (apa adanya), tetapi harus berusaha menggali nilai-nilai keadilan dan persamaan derajat—seperti yang sering didengungkan Islam—dalam hal-hal yang “tak terberitakan” dari kisah tersebut. Mungkin bagi sebagian kalangan, perspektif atau cara pandang ini terkesan tidak biasa. Seperti diketahui bahwa dalam Islam, kran berijtihad sangat terbuka dan dibenarkan menurut Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul, sementara cara pandang yang kritis dan adil yang dilandasi semangat kesederajatan kemanusiaan terhadap kisah-kisah qurban di atas adalah sebuah produk ijtihad.

Berkait dengan Sarah dan Hajar, beberapa hal yang dapat diungkap di sini, misalnya mengenai poligami Ibrahim terhadap Sarah dan posisi Hajar di antara mereka. Poligami adalah kenyataan sangat pahit yang terkadang harus diterima perempuan. Apalagi dalam agama Islam, poligami ‘seakan’ mendapatkan legitimasi dari al-Qur’an dan contoh dari Rasul, tak terlepas contoh yang dilakukan Nabi Ibrahim.

Banyak orang tidak menangkap pengorbanan Sarah hingga kemudian dianugerahi anak pada usia yang sudah sangat lanjut. Sarah adalah seorang perempuan yang cantik. Bahkan karena kecantikannya, Ibrahim pernah memintanya untuk mengaku sebagai saudara perempuannya agar Sarah tidak diambil paksa oleh Raja Mesir yang berkuasa saat itu. Bila Raja Mesir mengetahui bahwa Sarah adalah istri Ibrahim, maka ia tidak segan mengambil Sarah dari sisi Ibrahim. Tentu saja pengakuan menjadi saudara perempuan Ibrahim memerlukan kebesaran hati Sarah dan mengorbankan egonya.

Ketika Raja Mesir pada akhirnya menghadiahkan Ibrahim seorang budak perempuan, tanpa segan Sarah mengusulkan kepada Ibrahim untuk memperistri budak yang bernama Hajar itu. Sebuah usul yang mungkin sangat sulit disampaikan oleh seorang perempuan. Sarah meminta Ibrahim memperistri Hajar agar Ibrahim dapat meneruskan keturunannya yang tidak diperoleh dari rahim Sarah. Pada saat itu, laki-laki beristri lebih dari satu sesungguhnya bukan hal luar biasa, bahkan penguasa atau raja sangat lumrah memiliki ratusan istri. Untuk Ibrahim, usulan Sarah adalah hal yang luar biasa. Pengorbanan Sarah pun secara tidak langsung memberikan hak kemerdekaan kepada Hajar yang semula berstatus budak menjadi manusia merdeka.

Dari perkawinan Hajar dan Ibrahim, Allah menganugerahkan mereka seorang anak bernama Ismail. Seberapa pun besar hati Sarah, tampaknya memang ia tetap manusia biasa yang memiliki keterbatasan, karena dia pun merasakan “kesedihan” ketika ia setiap hari menyaksikan kebahagian Ibrahim beserta anak dan istrinya yang lain di hadapannya sendiri. Perintah Allah pun turun kepada Ibrahim untuk mengantarkan Hajar dan Ismail ke negeri yang jauh daan tandus bernama Makkah dan meninggalkan mereka berdua di sana. Walau Hajar sempat bertanya mengapa ia harus pindah dan kemudiaan ditinggalkan di Makkah, tetapi Hajar akhirnya harus sanggup menerima keputusan bahwa ia memang harus mengasuh Ismail tanpa Ibrahim. Hajar mengorbankan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya bersama Ibrahim atas nama titah Ilahiah.

Tiada yang dapat mengira betapa keras perjuangan Hajar dalam kurun waktu 6-7 tahun untuk membesarkan Ismail. Pengorbanan seorang perempuan dan ‘ibu plus’ yang tulus. Sedang di tempatnya semula, Ibrahim telah kembali kepada istri pertamanya yang tidak lama kemudian dianugerahi anak bernama Ishak. Apa yang terbayang oleh seorang perempuan tatkala dia harus berjuang sendirian dengan anaknya, sedangkan di tempat lain suaminya sedang berbahagia dengan istri pertamanya. Bagaimana Hajar harus meletakkan kesedihannya, tatkala dia merasa bahwa Ismail sebagai anak memerlukan sentuhan kasih-sayang Ibrahim, sang ayah, sedangkan kenyataannya Ibrahim berada jauh dari sisinya dan mendekap hangat anaknya yang lain.

Kepasrahan, ketabahan, dan kesabaran Hajar adalah cermin bahwa ‘harga’ pengorbanannya sebagai perempuan, sebagai istri dan sebagai ibu tidak akan terbeli. Bahkan hingga akhirnya dia harus rela melepas Ismail tatkala perintah qurban turun kepada Ibrahim. Kalau peristiwa penyembelihan Ismail oleh Ibrahim seringkali dinyatakan sebagai salah satu bentuk ketakwaan Ismail dan Ibrahim, maka apalah yang pantas disandangkan kepada Hajar saat itu? Lebih-lebih Hajar sendiri yang berpesan kepada Ibrahim untuk tidak lupa membawa pedang yang tajam dalam menyembelih Ismail, puteranya.

Qurban pada akhirnya memang disimbolkan melalui penyembelihan seekor hewan. Terlepas dari itu, seperti yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad, penyembelihan hewan bukanlah tujuan, tetapi menjadi simbol bagi perlawanan terhadap tradisi yang menindas. Misalnya tradisi pada zaman jahiliyah yang justru seringkali menjadikan perempuan sebagai korban, seperti mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan atas nama kemuliaan suku atau martabat seorang laki-laki, atau menjadikan perempuan sebagai pihak yang bisa diwariskan, atau dikendalikan kaum laki-laki.

Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW telah melakukan perubahan besar-besaran terutama dalam memandang perempuan. Dari sejarah diketahui bahwa perempuan pada masa itu tidak dianggap sebagai manusia merdeka yang utuh, tetapi hanya sebagai makhluk pelengkap kebutuhan laki-laki yang bisa dipegang dan dicampakkan sesuka hati. Perempuan tidak dibolehkan keluar rumah, tetapi malah Nabi Muhammad mengorganisir perempuan untuk menikmati hak pendidikan dan hak sosial mereka. Di sini menjadi wajar dan masuk akal, jika ayat-ayat Al-Qur’an yang turun di masa-masa awal (ayat Makkiyyah) lebih banyak mengandung ajaran protes sosial terhadap status quo (kemapanan) yang tidak adil dan menindas, termasuk menindas terhadap kaum perempuan. Pertanyaannya adalah apakah semangat Islam pada masa awal yaitu menghapus ketidakadilan dan diskriminasi dalam segala hal, termasuk terhadap perempuan, masih akan dihidupkan dan diperjuangkan? Sedang jargon yang ada adalah Islam agama antiketidakadilan dan antidiskriminasi!            (12 nop 2010 )

Senin, 08 November 2010

"BURUK SANGKA"

Pagi ini Surabaya cerah, walaupun diatas Surabaya sebagian awan tipis masih menyelimuti, tetapi sinar matahari pagi yang mengandung ultra violet masih bisa menembus. Segar sekali udara karena debu partikel habis dijatuhkan dari udara karena hujan/ gerimis tadi malam.

Seperti biasa pagi ini jam 06.00 WIB kegiatan rutin saya lakukan kecuali hari Sabtu dan Minggu,  berangkat  mengantar anak sekolah dan juragan perempuan membelah Surabaya Timur laut ke Surabaya Selatan konsentrasi karena hari ini hari Senin, lalu lintas padat.

Diperjalanan banyak spanduk, baliho bertebaran di posisi yang strategis, terlihat jelas yang mau tidak mau pengemudi dan penumpangnya harus membacanya.

“ Yayasan…………….menerima hewan korban”

“ menerima hewan korban………………….lengkap ayat2 suci…

“ Korban dikota, bermanfaat didesa “…………..

dan banyak kata2 yang lain.

Juragan perempuan saya berkomentar : Apa ya sampai korban itu ? Kalau ya ! apa nggak dipotong untuk biaya macam2 termnasuk honor panitia/ pengurus ?
Dan saya pun menanggapi  : “ Jangan se – udon/ buruk sangka !”

Seperti Saat ini tiap perempatan jalan traffic lamp, banyak anak2 muda berjaket almamater dan Organisasi, LSM dg. Anak2 muda berpakaian se adanya membawa kotak2 dg. Tulisan sumbangan korban merapi, mentawai.
Tiap sore pulang jemput juragan lewat dan berhenti di TL Darmo juragan perempuan, sering memberikan sumbangan,tetapi yang saya perhatikan selalu di pilih yang berjaket almamater bukan yang berpakaian kumuh dan tiap saya Tanya dan jawabnya selalul sama “tidak pas, kurang menyakinkan !” Se udon lagi !  yang dalam bahasa arabnya disebut su’uzan.
Padahal cadangan dana keluarga (ma'af agak riak) hampir semua ditempat kan di bank syariah yang tidak mengenal sistim bunga tetapi diganti namanya menjadi bagi hasil.
Pernah saya tanya "apa bedanya ?" dan dia menjawab : "Kalau bohong, biar bank itu yang menanggung dosanya !...........
Harap maklum ! Saya dan juragan perempuan itu, termasuk yang iman nya tipis/ Islam abangan ! walaupun sejak awal berumah tangga berusaha membentuk keluarga sakinah dan terus berusaha belajar

Kebiasaan berburuk sangka telah ada sejak lama. Di sekitar kita, bila dicermati, bertebaran sikap manusia yang berprasangka buruk. Sebutlah pandangan mata curiga, sinis, ekspresi kecut yang penuh apriori, sampai dalam bentuk sikap kasar yang tidak bersahabat.

Padahal Nabi Muhammad SAW bersabda :
“Sekali-kali janganlah kamu berburuk sangka, karena sungguh buruk sangka itu adalah perkataan yang paling bohong. Dan janganlah kamu mengintai-intai dan janganlah kamu saling berebut dan janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling membelakangi dan jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari, Muslim dan Daud)


Penyakit buruk sangka ini disebabkan oleh : Menuruti hawa nafsu, menuruti bujukan syetan, tidak percaya diri, iri dengan orang lain dan kurangnya mensyukuri nikmat Allah SWT.


Menurut para ahli, buruk sangka merupakan salah satu mekanisme psikologis yang paling alamiah dalam diri manusia. Karena itu, sulit sekali menghilangkan buruk sangka. Banyak faktor yang memicu merebaknya prasangka-prasangka buruk:

  1. Faktor lingkungan
 
Lingkungan memberi pengaruh yang cukup besar bagi lahirnya sikap buruk sangka. Lingkungan dimaksud bisa keluarga, masyarakat, tempat bekerja, sekolah, dan lain sebagainya. Lingkungan yang kejam, kotor, dan tidak sehat seringkali memberi pengaruh kuat bagi lahirnya kebiasaan buruk sangka. Bahkan, dalam budaya orang-orang ‘primitif’, buruk sangka seringkali menjadi acuan utama kehidupan sosial mereka, sebagai kompensasi timbal balik dari lingkungannya yang memang buruk.

Seperti yang terjadi pada suku Dobu di Melanesia. Ideologi hidup mereka adalah sihir. Akibatnya, paradigma hidup mereka pun banyak yang terjungkal. Setiap anak-anak Dobu meyakini bahwa kehidupan mereka diatur oleh kekuatan sihir. Maka, begitu ada yang terkena bencana atau musibah, muncullah aksi balas dendam dari keluarganya kepada pihak-pihak yang diduga telah menyihir anggota keluarganya.

Setiap orang dari suku tersebut selalu takut kalau diracun. Makanan dijaga ketat. Hanya dengan orang-orang tertentu saja suku Dobu mau makan bersama. Sikap curiga, buruk sangka, tidak dapat dipercaya, menjadi budaya hidup mereka.

Lingkungan hidup yang keras bisa menumbuhsuburkan sikap cepat curiga. Ia identik dengan medan tempat setiap orang harus bertarung mempertahankan hidupnya.

Berjibaku mengejar apa yang bisa ia makan, meski harus memangsa orang lain dengan jalan yang salah. Bagaimana dengan lingkungan kita? Atau Bagaimana dengan lingkungan kerja kita ?

2.  Keyakinan yang salah

Keyakinan yang salah bisa melahirkan buruk sangka. Termasuk dalam kategori ini adalah ideologi atau aqidah yang salah. Seperti berburuk sangka kepada Allah, dengan menuduh-Nya tidak adil. Orang-orang jahiliyah sebelum Islam punya keyakinan yang terkait erat dengan prasangka buruk. Setiap memasuki hari-hari yang baru, mereka mengukur nasib dengan apa yang pertama kali mereka lihat. Bila pagi itu mereka melihat ular, atau burung gagak, atau apa saja yang berwarna hitam, pertanda hari buruk sedang menanti.

Dalam Islam, perilaku seperti itu disebut dengan tathayyur. Secara bahasa, tathayyur artinya sebuah perilaku menyandarkan sikap kepada burung (tha-ir). Tindakan seperti itu dilarang keras oleh Islam karena bisa merusak kemurnian akidah.

Buruk sangka dengan kemasan keyakinan seperti itu masih banyak menyebar dalam masyarakat. Terlebih bila masyarakat tersebut dahulunya penganut paham animisme. Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat modern pun banyak yang masih terjerat perilaku seperti itu. Banyak yang menggantungkan nasibnya kepada ramalan-ramalan aneh.

3. Kepentingan Politik
 
Kepentingan-kepentingan politik juga menjadi pemicu lahirnya sikap buruk sangka. Definisi kepentingan politik yang dimaksud tidak selalu harus dalam konteks kekuasaan di sebuah negara, dari tingkat lurah sampai presiden. Bisa saja berbentuk politik pencapaian jabatan di sebuah instansi, politik pencapaian tujuan tertentu dalam sebuah organisasi, atau dalam sebuah komunitas masyarakat.

Di jaman Soeharto berkuasa, tak sedikit kebijakan politik yang dijalankan berdasarkan buruk sangka. Kekhawatiran dan ketakutan kepada umat Islam dalam kurun yang cukup lama telah menjadi alasan untuk berlaku diskriminatif kepada anak bangsanya sendiri.
Tragedi Priok misalnya, telah banyak memakan korban. Bahkan banyak orang yang sama sekali tak punya urusan dengan peristiwa Priok juga terdzalimi dengan kejam.
 

Pendek kata, kepentingan politik telah menjadikan alasan sistem kewaspadaan nasional sebagai pembenaran tindakan-tindakan brutal, yang dasarnya hanya prasangka buruk. Identifikasi bahwa semua orang Islam yang nampak konsisten disebut bagian dari ekstrim kanan, yang akan merongrong kewibawaan negara, menggulingkan pemerintahan yang sah, adalah idiom-idiom buruk sangka yang terus dijadikan komoditas politik Soeharto. Sayangnya, idiom ekstrim kanan juga masih didengungkan oleh penguasa saat ini. Bahkan, muncul kebiasaan menyebarkan prasangka dan keresahan dengan menyebut inisial, sebagai tertuduh dalam beberapa kasus.

Tentu semua orang tidak ingin, bila bangsa ini terus menerus dipimpin oleh penguasa yang kebijakan politiknya hanya berdasar buruk sangka, berpijak pada asumsi-asumsi buta, atau bahkan hanya karena selera suka atau tidak suka.

4.  Estimasi Pertahanan Diri

Kadang, orang punya prasangka buruk demi kepentingan mempertahankan diri. Rasa aman yang ingin diperoleh seseorang sering kali diwujudkan dengan membuat lingkar pengaman secara psikologis atas semua orang yang dihadapi. Kebiasaan ini bahkan telah merambah ke sektor-sektor kehidupan harian. Ada penelitian unik (Baron & Byrne,1997) tentang kecenderungan para perawat di rumah sakit yang enggan merawat orang-orang gemuk, karena prasangka ringan (mild prejudice) yang tak berdasar. Mereka berprasangka bahwa orang gemuk umumnya sulit diberi pelayanan perawatan. Tentu saja ini belum tentu benar. Tapi, begitulah adanya.

Estimasi pertahanan diri yang dasarnya buruk sangka sangat berbahaya. Ia bisa melahirkan stereotipe. Sebuah penyeragaman pandangan atas suatu obyek dengan totalitas. Seperti sangkaan bahwa ‘laki-laki yang menuntun motor di tengah malam itu pasti pencuri’, ‘orang yang berambut panjang itu pasti preman’, dan lain sebagainya.

Pengalaman unik seorang pemuda berikut bisa menjadi pelajaran. Arman (24 tahun), sempat gemetar dan serta merta menjauhi laki-laki berkulit gelap berminyak, berambut gondrong, berbadan besar serta berpakaian lusuh yang menghampirinya. Malam itu, ia terpaksa tidur di emperan toko. Arman bukan pengemis atau gelandangan, melainkan pemuda ‘rumahan’ yang ‘terlunta-lunta’ di Jakarta. Dari Surabaya, Arman memutuskan mendatangi teman lamanya di Jakarta. Ia berencana menetap sementara di rumah temannya sambil mencari kerja, berbekal ijazah SMA dan beberapa ijazah kursus. Di luar dugaannya, sewaktu tiba di alamat yang dituju, temannya sudah pindah, dan -suatu hal yang tidak anah para tetangga tidak tahu alamat barunya.

Malam mulai tiba. Sementara Arman tidak ingin mengeluarkan uang untuk menginap di losmen. Ia khawatir, uang simpanannya keburu habis sebelum nasibnya jelas. Ketika malam semakin larut, akhirnya ia memilih emperan toko untuk bermalam. Tapi segera ia menyesali pilihannya, karena laki-laki gondrong itu sekonyong-konyong menghampirinya. Di kepalanya sudah berkecamuk, orang seram seperti itu pasti akan merampok, menganiaya atau bahkan membunuhnya.

Tapi laki-laki itu dengan ramah menegurnya, dan mengajaknya berbincang. Akhirnya, Arman justru menceritakan masalah yang menimpanya. Melihat ketulusan di sorot mata laki-laki itu, Arman tiba-tiba yakin, ia orang baik-baik. Bahkan ia melihat, laki-laki itu seperti iba padanya. Menurut pengakuan laki-laki itu, ia memiliki adik yang sebaya Arman, dan sekarang tinggal di kampung halamannya, di daerah Sumatra.
Akhirnya, malam itu Arman justru menginap di rumah laki-laki itu, di daerah kumuh pinggiran kali Ciliwung. Dan orang yang kemudian dipanggilnya Abang itu memberinya pekerjaan, sebagai kenek bis yang dikemudikannya. Beberapa bulan Arman tinggal di rumah laki-laki itu, yang ternyata benar-benar baik dan memperlakukan Arman seperti adiknya. Ia juga heran, di jaman seperti ini, masih ada orang yang tulus seperti itu. Kini Arman sudah bekerja sebagai pegawai di suatu kantor. Tapi ia tidak pernah melupakan kebaikan sang Abang.

Sikap stereotipe menilai sesuatu secara keseluruhan juga dialami oleh Musyarif (26). Ia mengisahkan pengalaman yang tak akan ia lupakan. Suatu hari seperti biasa ia naik bis umum dari tempat tinggalnya di Bekasi ke Jakarta untuk bekerja. Menjelang keluar tol UKI, dilihatnya seorang laki-laki dengan kacamata hitam terus mendekat-dekat kepada seorang wanita berjilbab. Musyarif yakin bahwa seorang copet sedang siap-siap beraksi. Ia berusaha sedikit menghalangi laki-laki itu. Begitu bus menurunkan penumpangnya di UKI, wanita berjilbab itu menggamit laki-laki berkacamata hitam itu dan menuntunnya. Ternyata laki-laki itu buta. Dari cara wanita itu membimbingnya, bisa dipastikan ia suaminya, atau paling tidak salah satu keluarga dekatnya.

Bila berlebihan, buruk sangka karena estimasi pertahanan diri bisa menjadi penyakit kepribadian seperti paranoid. Di mana orang punya rasa takut yang sangat berlebihan. Hingga melahirkan anggapan secara konsisten bahwa orang lain berusaha menuntut, merusak, atau mengancam. Bahkan, orang yang berpenyakit seperti itu menolak menceritakan rahasia kepada orang lain karena takut kalau informasi tersebut digunakan untuk melawan dirinya. Bisa juga berdampak kepada gangguan kepribadian skizotipal. Yaitu suatu sikap dan penampilan ganjil, selalu curiga, dan kecemasan sosial yang luar biasa terhadap orang yang tidak dikenal.


5. Ilmu yang pas pasan.

Keterbatasan ilmu juga menjadi pemicu bagi munculnya sikap buruk sangka. Minimnya pengetahuan akan berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk memandang masalah, menyimpulkan, serta menentukan sikap atas berbagai peristiwa.

Dalam beberapa disiplin ilmu, kata ‘prasangka’ secara definitif diartikan sebagai penguasaan masalah sebesar 50 persen atau lebih tapi tidak sampai seratus persen. Ia sekaligus lawan dari kata ‘faham’, yaitu penguasaan masalah hingga seratus persen. Maka, orang yang tidak faham, sangat mungkin memaknai sesuatu dengan cara yang salah.

Setiap orang harus sadar, bahwa di atas yang tahu masih ada yang lebih tahu. Di atas yang berilmu masih ada yang lebih berilmu. Apalaqi hampir semua ilmu itu dinamis, berkembang dan memunculkan hal2 baru.

Buruk sangka karena keterbatasan pengetahuan bisa dihindari dengan mencari tahu. Dahulu, ketika Rasulullah memutuskan menerima perjanjian damai dengan orang-orang Quraisy di Hudhaibiyah, sebagian sahabat -termasuk Umar bin Khatab- memandang itu sebagai kekalahan. Tetapi dikemudian hari ia menyadari kekeliruan dugaannya.
 
Dahulu, Musa menganggap Hidhir telah bertindak aniaya. Membolongi perahu, membunuh anak, serta memperbaiki bangunan di suatu kampung yang penduduknya pelit. Setelah dijelaskan alasannya barulah ia menyadari bahwa dugaannya itu salah.

Disisi yang lain, ada juga hasil kesimpulan yang akhirnya memberikan nilai minus/kurang atas diri seseorang, yang mana instrumen penilaiannya benar-benar berdasarkan perangkat penilaian yang obyektif (misalnya mengacu pada poin-poin syakhsiyah Islamiyah). Namun ironisnya penilaian itu justru dianggap sebagai kesimpulan yang dipenuhi oleh rasa buruk sangka. Akibatnya, orang yang ilmu-nya pas-pas-an justru menaruh simpati kepada orang yang telah dinilai kurang tersebut. Lebih parah lagi jika rasa simpati itu sudah bersemayam sejak lama, sehingga melahirkan sikap proteksi atas semua penilaian yang kurang atas orang yang dikaguminya. Inilah bentuk lain dari buruk sangka terhadap suatu evaluasi yang obyektif. Wallahu’alam. Hanya orang yang kuat dan berilmu, yang mampu memikul amanah.

8. Diskriminasi “Besar-Kecil “

Adanya diskriminasi atas ‘orang-orang kecil’ oleh ‘orang-orang besar’ dalam berbagai bentuk juga merupakan salah satu korban buruk sangka. Seringkali orang-orang kaya memenuhi pikirannya dengan persepsi bahwa orang-orang miskin itu kumuh, udik, bodoh, bahkan pencuri. Padahal, orang-orang ‘besar’ banyak juga yang profesinya sebagai koruptor dan penjahat berkerah putih.

Seorang pembantu rumah tangga wanita, sebut saja Tina, di kawasan Jakarta Selatan pernah pergi meninggalkan majikannya karena tidak tahan dengan perlakuan diskriminatif yang ia terima. Kedekatan anak-anak majikannya dengan dirinya akhirnya tak mampu meluluhkan hatinya untuk pergi.

Kebetulan sekali saat ia pamit, baru saja ada penghuni rumah itu yang kehilangan uang. Dan, dengan serempak dirinya yang diperiksa. Tas kecil miliknya yang berisi pakaian pun tak urung dibongkar dan diacak-acak. Tina berusaha tabah meski sebagai manusia normal ia sebenarnya tidak rela diperlakukan kasar.


Diskriminasi ‘besar-kecil’ terjadi dalam banyak bentuk. Budaya feodalisme yang merambah beragam sektor kehidupan turut membudidayakan kebiasaan buruk sangka menjadi penyakit yang menyerang kemana-mana. Seorang tentara mengira dirinya yang paling kuat, sedang orang sipil itu lemah. Seorang dokter merasa dirinya yang paling punya pengetahuan tentang kesehatan, sedang pasien itu bodoh dan tidak tahu menahu soal penyakit.

Orang tua merasa dirinya paling tahu sedang anak-anaknya yang mulai tumbuh dianggap anak bau kencur yang tak mengerti apa-apa. Seorang kepala bagian, seorang manajer, seorang direktur, seorang ketua, merasa bahwa orang-orang yang berada dibawahnya lebih rendah dari dirinya. Rasialisme oleh rezim apartheid di Afrika juga bagian dari bentuk prasangka buruk, bahwa orang kulit putih lebih mulia dari orang kulit hitam. Semua itu adalah perilaku buruk sangka yang diskriminatif dan tidak semuanya benar.

Urat nadi buruk sangka masih sangat banyak. Dengan menekan semaksimal mungkin sikap berprasangka buruk, setidaknya kita telah memberi kontribusi yang cukup berarti bagi kelangsungan hidup banyak orang. Ya, kita memang harus berpikir sebelum bertindak. Kita harus berpengetahuan sebelum berkesimpulan. Sebuah pembiasaan diri yang tidak ringan, memang. Agar kita tidak salah langkah lagi dikemudian hari, karena hidup ini tidak mengenal siaran tunda. Wallahu’alam

Lantas, bagaimana cara menghindari buruk sangka itu ? Berikut ini ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk kita menghindari penyakit buruk sangka, yaitu :

Usahakan membayangkan bagaimana sedihnya kalau diri kita dijadikan objek buruk sangka, dengan demikian tentunya bahwa kita juga tidak mau kalau diri kita dijadikan objek, begitu juga orang lain. Lakukan yang positif misalnya dengan mempererat tali persaudaraan, menumbuhkan kesadaran dan hormat menghormati dan jangan dilupakan isi rohani kita dengan santapan-santapan bergizi seperti tholabul ilmi, dengan banyak belajar tentang ilmu-ilmu agama.