Setiap mendengarkan kotbah Jum.at di masjid konsentrasiku untuk mendengarkan /memahami / mencerna paling banyak 50 persen sisanya menguap berusaha sadar sampai air mata keluar akibat mengantuk. Bahkan sampai waktu sholat pernah dibangunkan jamaah lain karena ketiduran. Mungkin terlalu banyak mendengarkan kotbah baik sholat jum’at, pengajian atau keimanan saya yang tipis.
Tetapi Sholat Jum’at siang tadi lain. Walaupun sudah berulang kali kisah Qurban saya ikuti. Yang ini lain, saya mendengarkan dengan konsentrasi penuh, bahkan rasanya kok sebentar saja, masih kurang panjang khotbahnya.
Mungkin karena khotbah jum’at siang tadi cara penyampaian/ ustadnya ganteng suaranya dan ngajinya enak didengar, atau saya tiba2 saya teringat ibuku, karena aku adalah anak yatim piatu atau yang lain.
Mau tahu isinya khotbah tadi siang ?
Caba bacalah isinya kira2 seperti ini :
Qurban biasanya dilaksanakan berbarengan dengan ritual ibadah haji, sedangkan bagi mereka yang belum mampu berhaji, disunnahkan berpuasa dan menyembelih qurban. Ritual Ibadah Haji seharusnya mampu mengingatkan umat Islam pada perjuangan Siti Hajar ketika mempertahankan hidupnya bersama Ismail di Mekkah, bukan hanya membangkitkan ingatan kepada penyembelihan Ismail oleh Ibrahim yang akhirnya tidak terjadi itu.
Latar belakang qurban yang dialami Nabi Ibrahim inilah yang paling banyak dikenal umat Islam hingga saat ini. Ketika Nabi Ibrahim telah berusia 100 tahun, beliau belum dikaruniai putra oleh Allah dan beliau selalu berdo’a: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku anak yang shalih”. Kemudian dari isterinya yang kedua, Siti Hajar, lahirlah seorang putra yang diberi nama Ismail. Hajar dan Ismail diperintahkan berhijrah ke Makkah diantar oleh Ibrahim. Beliau meninggalkan beberapa potong roti dan sebuah guci berisi air untuk Siti Hajar dan Ismail. Ketika Siti Hajar kehabisan makanan dan air, ia melihat ke sebelah timur. Di sana terdapat air yang ternyata hanyalah fatamorgana di Bukit Sofa. Ismail ditinggalkan dan Siti Hajar terus mencari air lalu naik ke Bukit Marwah serta kembali ke Sofa sampai berulang tujuh kali. Ia tidak juga mendapatkan air hingga kembali ke Bukit Marwah. Ismail yang kehausan lalu menendang-nendang tanah yang kemudian—dengan izin Allah—dapat mengeluarkan sumber air. Siti Hajar berlari ke bawah sambil berteriak kegirangan: “zami-zami”. Tempat itu lah kemudian dikenal dengan sumur atau mata air Zam-zam.
Nabi Ibrahim setelah mengantarkan Hajar dan Ismail di Mekkah lalu berangkat lagi ke Palestina sampai Ismail menjelang usia remaja. Nabi Ibrahim diperintahkan lagi oleh Allah untuk kembali ke Mekkah menengok Hajar dan Ismail yang sudah mulai beranjak besar.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa usia Ismail sekitar 6 atau 7 tahun. Sejak dilahirkan sampai sebesar itu Nabi Ismail senantiasa menjadi anak kesayangan. Tiba-tiba Allah memberi ujian kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam surat Ash-Shaffaat: 102 : “Maka ketika sampai (pada usia sanggup atau cukup) berusaha, Ibrahim berkata: Hai anakku aku melihat (bermimpi) dalam tidur bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah bagaimana pendapatmu” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Latar belakang qurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim adalah ketika ia bermimpi menyembelih Ismail. Mimpi itu yang sering disebut al-ru’ya al-shadiqah (mimpi yang benar). Dalam mimpinya, Ibrahim mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih putranya Nabi Ismail. Ketika sampai di Mina, Ibrahim menginap dan bermimpi lagi dengan mimpi yang sama. Demikian juga ketika di Arafah, malamnya di Mina, Ibrahim bermimpi lagi dengan mimpi yang tidak berbeda pula. Ibrahim kemudian mengajak putranya, Ismail, berjalan meninggalkan tempat tinggalnya, Mina. Baru saja Ibrahim berjalan meninggalkan rumah, syaitan menggoda Siti Hajar: “Hai Hajar! Apakah benar suamimu yang membawa parang akan menyembelih anakmu Ismail?”. Akhirnya Siti Hajar, sambil berteriak-teriak: “Ya Ibrahim, ya Ibrahim mau diapakan anakku?” Tapi Nabi Ibrahim tetap melaksanakan perintah Allah SWT tersebut. Di tempat tersebut pada tanggal 10 Dzulhijjah, jamaah haji diperintahkan melempar batu dengan membaca: Bismillahi Allahu Akbar. Hal tersebut mengandung arti bahwa manusia harus melempar syaitan atau membuang sifat-sifat syaitaniyyah yang bersarang di dalam dirinya, dengan tetap mempertahankan sifat-sifat kemanusiaan dan ke-Tuhanan.
Setibanya di Jabal Qurban, sekitar 200 meter dari tempat tinggalnyaa. Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Rencana itu pun berubah drastis, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat Ash-Shaffaat ayat 103-107:
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. (Allah berkata) “Kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor hewan yang besar “.
Pada masa Nabi Muhammad, qurban pun diperintahkan kembali di dalam surat Al-Kautsar: 1-3: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu, dia lah yang terputus (dari nikmat Allah)”. Berbicara tentang kenikmatan, Allah mengingatkan: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidak akan dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim: 34). Surat Al-Kautsar ini lah yang kemudian dijadikan dasar hukum bagi umat Nabi Muhammad untuk berqurban bagi yang mampu.
Dalam kisah Ibrahim, bila kita menengok kepada posisi Hajar dan Sarah dalam konteks qurban yang dilakukan Nabi Ibrahim dan Ismail. Seandainya tanpa “izin” Sarah, Ibrahim tidak akan meminang Hajar untuk dijadikan sebagai isteri kedua. Poligami Ibrahim yang bertujuan untuk ikhtiar memperoleh keturunan pada awalnya adalah bagian dari pengorbanan Sarah yang rela memberikan suaminya demi harapan keturunan dari Hajar. Pun pengorbanan Hajar ketika ia harus mengarungi hidup tanpa Ibrahim (suami tercinta) di negeri yang sangat tandus dan gersang, Makkah saat itu.
Anehnya, semua pengorbanan perempuan lagi-lagi “nyaris tak terdengar”, karena sejarah lebih banyak menonjolkan peran laki-laki, Ibrahim dan Ismail. Itu sebabnya ingatan kita menjadi lebih kuat terpatri kepada pengorbanan Ismail yang rela dan siap disembelih oleh ayahnya, dan bagaimana perjuangan Ibrahim menepis keraguan Hajar karena godaan syaitan. Tambahan lagi, adanya syaithan yang menggoda Hajar seakan telah menjadi sebuah keniscayaan bahwa perempuan dikesankan memang sangat mudah digoda dan karenanya dikesankan pula ‘biasa menjadi penggoda’ untuk sebuah itikad atau cita-cita yang baik, seperti yang sebelumnya dikesankan menimpa Hawa ketika Iblis menggodanya untuk memakan buah khuldi dulu.
Memunculkan sudut pandang perempuan dalam sejarah qurban memang menjadi sulit. Belakangan, yang mengemuka adalah penafsiran-penafsiran dan upaya penerjemahan situasi dan konteks yang terjadi serta membandingkannya dengan cerita-cerita sejarah serupa dari sumber lain. Tidak salah jika kemudian ada banyak ragam penafsiran sebagai bagian dari upaya menarik atau melihat lebih cermat ‘suara’ perempuan dalam kisah tersebut.
Akan menjadi lebih bijaksana, jika kita tidak saja mengutip sejarah tersebut secara taken for granted (apa adanya), tetapi harus berusaha menggali nilai-nilai keadilan dan persamaan derajat—seperti yang sering didengungkan Islam—dalam hal-hal yang “tak terberitakan” dari kisah tersebut. Mungkin bagi sebagian kalangan, perspektif atau cara pandang ini terkesan tidak biasa. Seperti diketahui bahwa dalam Islam, kran berijtihad sangat terbuka dan dibenarkan menurut Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul, sementara cara pandang yang kritis dan adil yang dilandasi semangat kesederajatan kemanusiaan terhadap kisah-kisah qurban di atas adalah sebuah produk ijtihad.
Berkait dengan Sarah dan Hajar, beberapa hal yang dapat diungkap di sini, misalnya mengenai poligami Ibrahim terhadap Sarah dan posisi Hajar di antara mereka. Poligami adalah kenyataan sangat pahit yang terkadang harus diterima perempuan. Apalagi dalam agama Islam, poligami ‘seakan’ mendapatkan legitimasi dari al-Qur’an dan contoh dari Rasul, tak terlepas contoh yang dilakukan Nabi Ibrahim.
Banyak orang tidak menangkap pengorbanan Sarah hingga kemudian dianugerahi anak pada usia yang sudah sangat lanjut. Sarah adalah seorang perempuan yang cantik. Bahkan karena kecantikannya, Ibrahim pernah memintanya untuk mengaku sebagai saudara perempuannya agar Sarah tidak diambil paksa oleh Raja Mesir yang berkuasa saat itu. Bila Raja Mesir mengetahui bahwa Sarah adalah istri Ibrahim, maka ia tidak segan mengambil Sarah dari sisi Ibrahim. Tentu saja pengakuan menjadi saudara perempuan Ibrahim memerlukan kebesaran hati Sarah dan mengorbankan egonya.
Ketika Raja Mesir pada akhirnya menghadiahkan Ibrahim seorang budak perempuan, tanpa segan Sarah mengusulkan kepada Ibrahim untuk memperistri budak yang bernama Hajar itu. Sebuah usul yang mungkin sangat sulit disampaikan oleh seorang perempuan. Sarah meminta Ibrahim memperistri Hajar agar Ibrahim dapat meneruskan keturunannya yang tidak diperoleh dari rahim Sarah. Pada saat itu, laki-laki beristri lebih dari satu sesungguhnya bukan hal luar biasa, bahkan penguasa atau raja sangat lumrah memiliki ratusan istri. Untuk Ibrahim, usulan Sarah adalah hal yang luar biasa. Pengorbanan Sarah pun secara tidak langsung memberikan hak kemerdekaan kepada Hajar yang semula berstatus budak menjadi manusia merdeka.
Dari perkawinan Hajar dan Ibrahim, Allah menganugerahkan mereka seorang anak bernama Ismail. Seberapa pun besar hati Sarah, tampaknya memang ia tetap manusia biasa yang memiliki keterbatasan, karena dia pun merasakan “kesedihan” ketika ia setiap hari menyaksikan kebahagian Ibrahim beserta anak dan istrinya yang lain di hadapannya sendiri. Perintah Allah pun turun kepada Ibrahim untuk mengantarkan Hajar dan Ismail ke negeri yang jauh daan tandus bernama Makkah dan meninggalkan mereka berdua di sana. Walau Hajar sempat bertanya mengapa ia harus pindah dan kemudiaan ditinggalkan di Makkah, tetapi Hajar akhirnya harus sanggup menerima keputusan bahwa ia memang harus mengasuh Ismail tanpa Ibrahim. Hajar mengorbankan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya bersama Ibrahim atas nama titah Ilahiah.
Tiada yang dapat mengira betapa keras perjuangan Hajar dalam kurun waktu 6-7 tahun untuk membesarkan Ismail. Pengorbanan seorang perempuan dan ‘ibu plus’ yang tulus. Sedang di tempatnya semula, Ibrahim telah kembali kepada istri pertamanya yang tidak lama kemudian dianugerahi anak bernama Ishak. Apa yang terbayang oleh seorang perempuan tatkala dia harus berjuang sendirian dengan anaknya, sedangkan di tempat lain suaminya sedang berbahagia dengan istri pertamanya. Bagaimana Hajar harus meletakkan kesedihannya, tatkala dia merasa bahwa Ismail sebagai anak memerlukan sentuhan kasih-sayang Ibrahim, sang ayah, sedangkan kenyataannya Ibrahim berada jauh dari sisinya dan mendekap hangat anaknya yang lain.
Kepasrahan, ketabahan, dan kesabaran Hajar adalah cermin bahwa ‘harga’ pengorbanannya sebagai perempuan, sebagai istri dan sebagai ibu tidak akan terbeli. Bahkan hingga akhirnya dia harus rela melepas Ismail tatkala perintah qurban turun kepada Ibrahim. Kalau peristiwa penyembelihan Ismail oleh Ibrahim seringkali dinyatakan sebagai salah satu bentuk ketakwaan Ismail dan Ibrahim, maka apalah yang pantas disandangkan kepada Hajar saat itu? Lebih-lebih Hajar sendiri yang berpesan kepada Ibrahim untuk tidak lupa membawa pedang yang tajam dalam menyembelih Ismail, puteranya.
Qurban pada akhirnya memang disimbolkan melalui penyembelihan seekor hewan. Terlepas dari itu, seperti yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad, penyembelihan hewan bukanlah tujuan, tetapi menjadi simbol bagi perlawanan terhadap tradisi yang menindas. Misalnya tradisi pada zaman jahiliyah yang justru seringkali menjadikan perempuan sebagai korban, seperti mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan atas nama kemuliaan suku atau martabat seorang laki-laki, atau menjadikan perempuan sebagai pihak yang bisa diwariskan, atau dikendalikan kaum laki-laki.
Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW telah melakukan perubahan besar-besaran terutama dalam memandang perempuan. Dari sejarah diketahui bahwa perempuan pada masa itu tidak dianggap sebagai manusia merdeka yang utuh, tetapi hanya sebagai makhluk pelengkap kebutuhan laki-laki yang bisa dipegang dan dicampakkan sesuka hati. Perempuan tidak dibolehkan keluar rumah, tetapi malah Nabi Muhammad mengorganisir perempuan untuk menikmati hak pendidikan dan hak sosial mereka. Di sini menjadi wajar dan masuk akal, jika ayat-ayat Al-Qur’an yang turun di masa-masa awal (ayat Makkiyyah) lebih banyak mengandung ajaran protes sosial terhadap status quo (kemapanan) yang tidak adil dan menindas, termasuk menindas terhadap kaum perempuan. Pertanyaannya adalah apakah semangat Islam pada masa awal yaitu menghapus ketidakadilan dan diskriminasi dalam segala hal, termasuk terhadap perempuan, masih akan dihidupkan dan diperjuangkan? Sedang jargon yang ada adalah Islam agama antiketidakadilan dan antidiskriminasi! (12 nop 2010 )