Wah saya bingung mencari judul yang cocok buat tulisan dibawah ini, tiba2 ingatan saya terbentur sama cerita silat Pendekar sejati........Kurang gaul ya.... Biarin !
Hari ini karena janji dengan teman yang mencarikan
rumah kontrakan di kota Praya. Lombok Tengah untuk teman2 supervisor yang akan
mengawasi antara Kota Mantang dan Kuta.
Kota Praya lokasinya ditengah tengah antara Mantang
dan Kuta, disamping itu Praya dekat Bandara Internasional Lombok (BIL) atau
biasa disebut Lombok Praya. Saya tidak ke lapangan dirumah saja, menunggu
berita teman sub kon. Yg saya percayai untuk mencari rumah kontrakan karena
beliau orang lombok asli pasti akan lebih murah dibandingkan orang luar.
Hebat.....! dari pagi sampai saat ini lap top terus
menyala disela sela terima dan membalas email,
saya menemukan kisah yg mirip buku yang saya beli malam minggu yang lalu
(“ Syahadat dari negeri Sutra” ) di toko buku yang ada di mall mataram tentang
seseorang mencari dan memilih kenyakinan
islam juga percintaan jarak jauh antara Shanghai dan pulau Batam.
Setelah usai email laporan ke juragan di Surabaya,
untuk harga, lokasi dan gambar rumah kontrakan di kota Praya, silahkan juragan
pilih dan kalau perlu dilihat dulu. Jangan langsung setuju.
Kemudian saya copy
paste-kan kisah nyata ini, lengkap dengan komentar yang pernah baca kisah nyata ini.
Kisah nyata dibawah, yang jelas buat saya yang
keimanannya sangat tipis alias sebagai wong jowo katanya saya termasuk Islam Abangan,
sanggat sangat mengagumi pelaku andai kejadian itu menimpa saya, mungkin saya
tidak kuat untuk menghadapinya. Betul2 luar biasa ! Allah menguji seseorang
sebatas kemampuan orang itu !
Silahkan dibaca !
Kisah nyata ini sangat inspiratif bagi Pencari
Kebenaran Kebahagiaan Sejati. Kisah
diperoleh Publisher pertama thn 2006, ditulis oleh mahasiswi Teknik Arsitektur
Universitas T di kota P, hanya disebutkan Initial saja dan disebutkan Masjid
kuno Melayu. Menurut catatan si Penulis, kisah ini sesuai penuturan si Pelaku dan diterbitkan atas sepengetahuan
/ izinnya.
Lokasi mungkin saja di Pontianak dengan Universitas
Tanjungpura atau Palembang dengan Universitas Tridinanti. Namun itu bukan menjadi topik utama. Yang
paling penting esensi kisahnya. Berikut ini penuturannya.
KISAH CINTA SEJATI
WANITA MUALAF BERJUANG MEMPERTAHANKAN
IMAN
Sebelum mulai, izinkan aku mohon maaf bila ada
pihak tak berkenan terutama keluargaku. Untuk itu nama dan tempat disamarkan.
Aku ucapkan terimakasih untuk Retno (samaran) mahasiswi Universitas T yang
telah sudi menulis.
Semoga menginspirasi pembaca atau menguatkan orang yang mengalami
seperti aku. Allah limpahkan rahmat dan Hidayah-NYa pada kita, amiin!.
Panggil aku Mawar usia 30-an lahir di kota P, pulau di seberang pulau Jawa sebagai bungsu dari 4
bersaudara. Kami keluarga Cina generasi ke-4 imigran ke Indonesia. Kakek buyut
pendatang dari negeri jauh di utara pada awal abad 20.
Menurut cerita, kakek buyut berjualan kebutuhan
pokok gula, garam beras dll, keluar-masuk kampong dengan pikulan. Bisnis keluarga berkembang pesat setelah
pemerintah menggalakkan usaha yang dilakukan bangsa sendiri (pribumi).
Saat itu ada istilah Ali-Baba. Ali panggilan
pribumi dan Baba / pebisnis Cina. Pengusaha pribumi diberi kemudahan izin usaha
bahkan izin impor, tapi umumnya kesulitan modal. Sementara banyak etnis Cina
modalnya kuat membeli izin usaha dari pribumi, sehingga memudahkan bisnis
expor-impor ke Singapura, Malaysia dan Hongkong yang dikuasai etnis kami.
Bisnis keluarga makin besar, merambah semua
bidang; pertambangan, emas, perkebunan
dan lainnya. Kekayaan keluarga kami
diatas rata-rata orang kaya Indonesia, above than ordinary rich.
Harta keluarga amat melimpah hingga orangtua
cemas seandainya kami sekeluarga
(tiba-tiba) mati dan tidak ada yang mengurus harta kami. Untuk itu kami
sekeluarga tidak pernah melakukan perjalanan pesawat bersama-sama. Bila liburan
bersama, biasanya kami dibagi 2-3 flight. Papa-mama satu pesawat sisanya dibagi
2 flight. Sehingga bila terjadi musibah, ada anggota keluarga yang tetap melanjutkan bisnis.
Aku bercerita tentang keluarga sebab sangat terkait
dengan kisah selanjutnya.
Papa lahir dan dibesarkan di kota P. Setelah lulus
SMA studi bisnis di negeri H (Hongkong). Begitu kembali papa menjadi
businessman handal, banyak relasinya di berbagai negara. Papa rendah-hati,
pendiam, bicara terukur dan seperlunya serta
jarang marah. Mama dari pulau lain yang menjadi karyawati perusahaan
kakek sebelum bertemu papa. Mama orangnya keras, pintar, lincah, banyak
pergaulan hingga kadang kami fikir, papa sepertinya takluk pada mama.
Banyak kebijakan perusahaan berasal dari ide mama
dan selalu sukses. Keduanya memang pasangan
serasi dan saling mengisi.
Mengenal Islam
Masa kecilku penuh kebahagiaan. Dari SD hingga SMA
aku sekolah swasta terkemuka, siswanya banyak anak bupati, gubernur atau
pejabat. Aku pun berbaur tanpa memandang golongan, agama dan ras. Kadang aku
diundang ke rumah mereka (anak bupati/gubernur) sehingga kenal dekat keluarganya
dan kelak bermanfaat buat perusahaan kami.
Di sekolahku ada pelajaran agama untuk setiap
pemeluknya. Jika ada pelajaran agama tertentu, penganut agama lain diizinkan
keluar, tetapi boleh juga tinggal. Misalnya ada pelajaran Islam, aku lebih suka
tinggal di kelas mendengarkan apa yang diajarkan.
Aku non-Muslim, setiap minggu ke tempat ibadah
kami, tetapi aku lebih tertarik dengan Islam. Ada semacam panggilan dari hati
paling dalam, Awalnya kupikir hanya perasaan ingin-tahu. Tapi setiap mendengar
adzan, hati aku selalu bergetar.
Rumah kami sangat besar. Sering aku sendirian,
orangtua sibuk di Jakarta dan hanya beberapa hari di rumah dalam sebulan.
Kakak-kakakku masih kuliah di LN, sehingga rumah dengan 6 kamar besar, hanya
dihuni aku sendiri. Pembantu, sopir dan satpam tinggal di pavilion terpisah
dengan rumah induk. Di kesunyian hati, aku merasa sejuk setiap mendengar ayat
Quran yang kadang tidak sengaja aku dengarkan di TV.
Aku makin tertarik dengan pelajaran Islam. Melihat
ibu guru mengenakan kerudung dan wajah bersih bersinar membuat hati merasa
sejuk. Dengan melihat wajah ibu guru saja, aku merasakan damai. Tanpa sadar
akupun mencatat apa yang diajarkan, aku hapal ayat-ayat pendek. Semua terjadi
begitu saja dan tak bisa dicegah. Pernah ibu guru menghampiri aku yang secara
refleks sedang mencatat pelajaran tentang HAJI di papan tulis.
Beliau tahu aku non-muslim. Begitu mendekati tempat
duduk aku. Jantung berdebar keras membayangkan diusir dari kelas. Ternyata
hanya tersenyum ramah melihat catatanku. "Insya Allah kelak Mawar bersama
ibu melaksanakan ibadah Haji ya…."
Hubunganku dengan Ibu Aisyah (samaran) makin akrab,
aku tidak sabar menanti hari pelajarannya. Hubungan itu bagai anak dan ibu.
Meski aku juga tetap mengikuti pelajaran agamaku, tapi lebih banyak melamun
bahkan tidak mencatat sama sekali.
Sebagai gadis remaja tinggi 160 cm sedang mekar dan
giat cari pacar. Banyak komentar teman; tubuhku indah, proporsional, wajah
oriental dan akan banyak menarik perhatian laki. Tapi saat itu aku tak tertarik
dengan pria seetnis. Sebaliknya setiap Jumat aku suka melihat siswa muslim
ibadah shalat Jumat, hati langsung bergetar membayangkan andai salah satunya
mau jadi pacarku. Dengan wajah bersih bersinar, basah tetesan air wudhu,
melangkah ke masjid di seberang sekolah Ah...! Indahnya membayangkan
wajah-wajah tersebut.
Aku tahu diri, mana ada pribumi yang mau menjadi
pacarku. Banyak yang masih membedakan ras. Pacaran dengan cina dianggap
memalukan dan menjadi cemohan.
Aku pernah berpacaran dengan anak bupati. Dia
memutuskan hubungan hanya karena ayahnya
calon Gubernur yang tidak mau anggota keluarga
bisa menghambat pencalonan, seperti anaknya berpacaran dengan cina.
Alasannya sangat mengada-ada tapi aku sadar; orangtuanya tentu tidak rela
anaknya berhubungan terlalu jauh denganku yang juga beda agama.
Tapi hatiku sudah bulat kelak punya suami pribumi
bahkan bersedia masuk Islam. Keputusan
ini kelak membawa hidupku melewati perjalanan penuh ujian dan cobaan.
Studi ke Australia dan Amerika
Lulus SMA aku study ke Aussie (Australia) dan
Amerika mengikuti 2 kakakku. Tak banyak yang perlu diceritakan. Hampir 5 tahun
kemudian aku kembali dengan gelar Master dan mengabdi untuk bisnis keluarga.
Dalam waktu singkat profit perusahaan meningkat pesat, terus membesar -
merambah banyak sektor bisnis. Aku punya
akses ke para elite daerah, karena semasa sekolah aku sudah mengenal
keluarganya. Semua urusan perizinan aku selesaikan dengan mudah.
Aku masih single di pertengahan usia 20-an. Banyak
pria berusaha mendekatiku, dari
pengusaha muda sukses hingga pemilik perusahaan besar. Namun hatiku tidak bergetar sama sekali. Mencari suami itu mudah tapi aku ingin
mencari soulmate.
Romantisme dalam Islam
Suatu hari kantor mendapat staf baru dari kantor
cabang di Jawa, 3 tahun lebih tua dariku, wajah bersih dan etnis Jawa.
Tutur-kata lembut, sopan, tinggi proporsional dan ahhh...! Ini dia. Dia muslim
taat. Wanita sekantor tidak habisnya membicarakan dan berlomba mendapatkan perhatiannya. Menurut laporan -
dia amat rajin, jujur, berprestasi hingga dipromosikan ke posisi lebih tinggi
dan satu divisi denganku.
Awalnya aku jaga image sebagai anak Big Boss.
Lama-lama hati enggak bisa bohong,..sedikit demi sedikit namun pasti...aku
jatuh cinta. Suatu saat kami semobil dari kantor gubernur. Tiba-tiba dia
meminta izin shalat Ashar di Masjid Raya. Dari dalam mobil, kucermati ia berwudhu, melangkah ke masjid,
shalat...Ahhh!. Andai saja aku kelak bisa mengikuti di belakangnya.
Awalnya kami memanggil secara formal 'Pak' dan 'Ibu'. Tapi lama-lama secara tak sengaja aku
memanggil "Mas" karena aku sering melihat orang Jawa memanggil yang
lebih tua, suami atau kakak dengan sebutan "Mas". Dia rikuh, tetapi
lama-kelamaan terbiasa. Tapi itu aku lakukan bila hanya berdua, tidak di kantor.
Aku meminta dipanggil 'Dik' bukan 'Ibu
Mawar.'
Seperti pepatah Jawa, "Witing tresno jalaran
kulino" terjemahan bebas
"Cinta tumbuh karena terbiasa selalu bersama." Bayangkan
bagaimana awal cinta kami!!!
Kami duduk di belakang sopir mobilku. Awalnya membahas berkas kerja, kadang tidak
sengaja tangan kami bersentuhan. Dia secara sopan segera menarik tangannya dan
minta maaf. Ahh!...sebal rasanya. Padahal aku yang menginginkan. Tapi itu tidak
berlangsung lama, Akhirnya dia takluk. Aku biarkan tangannya memegang berkas
lalu aku pura-pura membahas sambil tanganku menyentuh jari dan tangannya. Aku
tidak pandai pura-pura. Dengan berani kugenggam jemarinya, lama-lama dia (sebut
saja Mas Fariz) merespon, menggenggam tanganku...ahh!...!
Sering aku pura-pura minta supir kembali dari suatu
tempat, seolah ada yang tertinggal ... padahal hanya ingin berlama-lama dengan
dia.
Suatu saat aku pura-pura ketinggalan sesuatu,
meminta sopir ke rumah. Begitu memasuki rumah orangtuaku, wajah Mas Fariz
pucat. Dia gugup karena khawatir papa (Big Boss) marah jika mengetahui pada jam kerja mampir
ke rumahnya. Aku bilang tidak perlu takut, bukankah anak Big Boss yang
membawanya.
Setahun berlalu. Hubungan kami semakin erat tapi
dia belum menyatakan cinta. Mungkin takut ditolak apalagi beda agama. Hingga
suatu saat dia menelpon mengajak bertemu di restoran luar kota. Dia meminta datang sendirian tanpa sopir.
Di restoran itu dia menyatakan cinta...langsung
saja kuterima. Kukatakan aku bersedia memeluk Islam dan sejak lama ingin masuk
Islam, jadi mas Fariz semoga menjadi pembimbingku. Airmatanya meleleh. Seumur
hidup baru kali ini seorang pria berlinangan airmata karena aku. Aku tidak
kuasa menahan airmata dan yakin mendapatkan 'Soulmate.'
Di kantor kami bekerja seperti biasa. Tapi di luar
kantor kami sepasang kekasih. Dia mengajari shalat dan sedikit doa. Dia memang
lelaki taat, menjaga kesopanan dan tidak pernah melewati batas. Sehingga kadang
aku yang menggoda, namun dia selalu bilang, sabar!...tunggu waktunya. Seribu kali sayang, serapat apapun ditutupi,
sedikit demi sedikit bocor juga rahasia kami hingga papa tahu ................
Tentangan Keluarga
Suatu hari tiba-tiba papa datang ke ruangan aku,
padahal amat sangat jarang terjadi, jika ada keperluan biasanya aku dipanggil.
Mulanya papa tidak menanyakan hubungan aku dengan mas Fariz, tetapi sedikit
demi sedikit topiknya mengarah kesana. Akhirnya papa menanyakan kebenaran
hubungan itu. Aku tidak sanggup menjawab, wajah aku tertunduk. Papa menatap dan
menunggu jawaban aku.
Aku tidak sanggup berbohong atau menyangkal,
sebaliknya jika bilang "iya" aku khawatirkan karir Mas Fariz. Aku hanya bisa menangis ...
Esoknya, Mas Fariz tidak hadir, dia dipindahkan ke Jawa. Akupun kehilangan
kontak.
Seminggu kemudian mas Fariz bercerita di telpon
bahwa setelah papa menemuiku, dia
langsung menemuinya. Esok paginya dia harus kembali ke kantor lama. Keadaan
semakin parah, setiap karyawan di kantornya sudah tahu hubungan kami. Banyak
tuduhan kalau mas Fariz mengincar harta dan kedudukan dengan memacariku.
Berulangkali dia sebut nama Allah, bersumpah, cintanya kepadaku bukan karena
itu.
2 minggu kemudian dia resign, tetapi kami
masih berhubungan telpon. Dia mencari
pekerjaan di perusahaan yang punya cabang di kota P agar bisa menemui aku. 3 bulan kemudian dia mendapatkannya dengan gaji jauh lebih kecil. Aku amat terharu, dia korbankan karirnya demi
aku.
Kami pun bebas berhubungan tidak peduli perkataan
orang di kantor, tapi papa kembali mengetahui dan kali ini mama turun tangan.
Mereka tidak bedakan ras dan tidak keberatan
bergaul dengan siapapun, tapi tidak bisa diterima jika aku masuk Islam dan
mereka sudah curiga. Maka kujelaskan, aku sudah dewasa untuk mengambil
keputusan hidup tanpa tergantung papa-mama - jawaban yang membuat mereka murka.
Mereka berkata, banyak orang rela mati demi
merasakan rumah mewah, sopir tersedia tiap saat, mobil mewah, uang melimpah dan
dihormati. Mereka katakan, tanpa mereka aku tidak akan pernah bisa memperoleh
kehidupan seperti ini. Aku hanya menangis. Tapi hatiku bertekad apapun yang
terjadi aku tidak akan meninggalkan Mas Fariz.
Aku giat mendalami Islam. Saat istirahat kantor,
aku pergi ke tokobuku besar di Mal untuk membaca buku Islam. Pernah aku
mengajak rekan kantor ke tokobuku. Aku langsung ke rak buku Islam, dia ingatkan
kalau aku ada di bagian rak buku Islam. Aku bilang memang benar, aku mau
membaca tentang Islam.
Klimaks
Kedua kakak laki-laki aku menikah dan menetap di
Jakarta menjalankan bisnis kami dan
papa-mama sekarang lebih banyak tinggal di kota kami bersama kakak perempuanku dan aku. Tapi
hubungan aku dengan papa-mama semakin renggang, kakakku pun sudah terprovokasi
dan menjauh.
Aku dianggap bukan bagian keluarga dan tak diajak
makan bersama di meja makan. Pembantu
disuruh memanggilku untuk makan bila mereka selesai makan. Makanan yang ada adalah sisaan
mereka dan pembantu tidak diperbolehkan menambah. Akhirnya aku makan makanan
sisa.
Jika mereka makan ayam, aku makan ceker dan kepala
saja. Bayangkan rasanya sakit hati. Aku
bersabar dan mas Fariz selalu mengingatkan untuk berbakti pada orangtua. Bisa
saja aku akan di restoran termahal di
kota P.
Kakak perempuanku sebenarnya kasihan padaku,
sehingga kadang dia menyimpan sebagian makanan yang baru dimasak. Sehingga pada
saat mama-papa selesai makan, diam-diam dihidangkan untuk aku. Secara tidak
terduga, mereka kembali ke meja-makan dan memergoki. Langsung mama rebut
piringnya dan melemparkan ke lantai. Sambil menyindir tidak perlu kasihan sebab
aku sanggup hidup tanpa diberi makan mama-papa.
Ohh..! Mereka rupanya sudah amat membenci. Hancur
berkeping hati aku. Aku hanya menangis tetapi tidak menyesalI dan aku akan
tetap bertahan.
Mas Fariz menyarankan bicara baik-baik agar
papa-mama luluh. Suatu malam ada kesempatan mendatangi mereka dan berbicara.
Dengan tutur baik aku meminta maaf. Aku tumpahkan perasaan semuanya. Tapi
justru itu membuat mereka bertambah murka. Mereka tuduh aku kena sihir dan
menyarankan aku sadar.
Ya Allah! Aku sehat, Insya Allah tidak ada satupun
sihir. Semua keinginan murni dari panggilan jiwa yang tidak bisa aku cegah. Aku
jelaskan lagi, bahwa aku sudah dewasa
hingga apapun keputusan bisa kupertanggung-jawabkan. Aku bisa mandiri jika
dikehendaki. Pendirian mereka pun tetap bahkan menantang, jika sanggup hidup
mandiri, sekarang juga serahkan seluruh harta yang aku dapatkan selama hidup dengan mereka.
Karena tekad bulat, malam itu seluruh kartu credit,
ATM, buku bank aku serahkan. Uang yang aku punya hanya yang tinggal di dompet.
Sepertinya tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan rumah. Esok paginya aku
ada keperluan untuk membuka lemari besi tempat penyimpanan surat berharga
keluarga. Berulangkali mencoba, aku tidak bisa membukanya.
Ternyata nomor kombinasinya diubah. Padahal ada
barang pribadi aku: Ijasah, perhiasan dan lain. Aku telpon papa tapi jawabannya
sinis. Papa menyindir kalau sanggup hidup mandiri, mengapa mau membuka lemari
besi keluarga, pasti ada barang yang mau
dijual. Aku dikucilkan. Mereka menyiksa dengan caranya sehingga aku menyerah. Aku mengadu ke mas Fariz dan
mengatakan akan minggat. Dia diam, lalu
berpesan jangan sampai putus hubungan keluarga.
Beberapa hari kemudian aku tinggalkan rumah dan kos
di dekat kantor. Aku berpamitan baik-baik pada mama-papa. Tetapi mereka menoleh
pun tidak. Aku masih ada cukup uang di dompet. Aku bersumpah tidak akan meminta
uang mereka.
Aku bertekad hidup mandiri. Selama bekerja di
perusahaan papa, secara formal aku digaji sesuai dengan posisiku. Tapi
disamping itu setiap bulan, aku mendapat uang-saku dari papa hampir 20x lipat
gaji resmi. Sehingga penghasilan sebulan cukup untuk hidup mewah selama
setahun. Seluruh simpanan bank, mencapai 10 digit. Mungkin cukup biaya seumur
hidup.
Sekarang aku tetap bekerja dengan harapan masih
digaji. Tapi akhir bulan aku tidak mendapat sepeserpun. Saat kutanyakan ke
pembayaran gaji, ada perintah menahan gajiku. Ya Allah, mereka lakukan cara
apapun agar menyerah. Saat itu juga kutinggalkan perusahaan papa selamanya.
Start from Zero
Saat kuadukan ke mas Fariz dia teramat sedih dan
meminta maaf, karena dia hidupku menderita. Dia rela andai aku tak kuat untuk
mundur. Aku peluk dia dan kupastikan keputusanku tidak berubah. Akupun semakin
ingin hidup bersamanya. Saat itu hanya dia sandaranku. Dengan berurai airmata,
dia tanya lagi, apakah rela menjadi muslimah dan menjadi istrinya. Kuciumi
tangannya kukatakan kukorbankan kehidupanku hanya untuk bisa hidup bersamanya
dan tidak akan menyesali.
Singkat cerita, dengan diantar mas Fariz aku
mengucapkan kalimat syahadat di sebuah masjid disaksikan imam dan beberapa
jemaah masjid. Dia mengajak segera menikah di kota kelahirannya. Kebetulan
tugasnya dipindahkan ke pulau Jawa.
Sebelum menikah kami datangi rumah papa-mama. Tapi
satpam di pintu gerbang mengatakan kalau dia diperintahkan tidak boleh membuka
pintu bila kami datang. Sebenarnya ia mau membuka pintu. Tapi aku larang,
khawatir mencelakai pekerjaan Biarlah aku saja yang menderita. Aku tinggalkan
secarik surat yang isinya mohon doa restu bahwa aku akan menikah dengan Mas
Fariz. Aku beritahukan ke pak satpam aku sudah muslimah. Matanya berkaca-kaca
saat kukatakan aku mualaf.
Keluarga mas Fariz menanyakan ketidakhadiran
keluargaku di pernikahan kami. Tapi setelah mas Fariz bercerita, mereka
memahami. Kami menikah secara sederhana. Keluarganya amat sangat menerimaku
dengan hangat tanpa mempermasalahkan keturunan Cina. Ibu mertuaku amat sayang
kepadaku. Aku amat sangat bahagia menjadi istrinya.
Aku hidup di rumah sederhana, kulalui dengan penuh
kebahagiaan dan aku tidak mengeluh sedikitpun dengan yang mas Fariz berikan.
Aku tidak lagi bekerja, karena aku ingin mengabdi pada suamiku. Disamping itu
semua ijasah masih tersimpan di lemari besi, aku tidak bisa melamar pekerjaan.
Aku pun ingin membuktikan bisa mandiri dengan suamiku.
Mas Fariz amat sangat menyayangiku tiap pagi
sebelum berangkat kantor dia memelukku. Tiap hari kubawakan 'lunch box' makan
siang karena aku tidak mau dia makan makanan masakan orang lain. Aku sangat
posesif, ingin memiliki dan melayani secara total. Tiap hari aku bangun sebelum
dia bangun dan tidur setelah dia benar-benar tidur untuk memastikan dia sudah
benar-benar tidak perlu aku layani lagi. Aku siapkan celana, baju, kaus kakinya
tiap pagi sebelum berangkat kerja. Sehingga dia tidak perlu memikirkan pakaian
apa yang harus dia pakai. Bahkan aku potong kukunya bila sudah panjang. Dia
kujadikan pangeran bagi diriku.
Tiap malam sebelum tidur, kami ngobrol dan saling
mengajarkan bahasa. Dia mengajari bahasa jawa, sedangkan aku mengajari bahasa
mandarin. Dia amat cepat belajar mandarin dalam waktu singkat dia menguasai
kata-kata yang umum diucapkan, kadang mengajakku bicara mandarin di rumah.
Memang perusahaan tempatnya bekerja milik etnis Cina dan banyak berhubungan
dengan keturunan Cina, sehingga bila berbahasa mandarin akan memberi keuntungan
tambahan.
Suatu saat dia pulang membawa motor, kantornya
memberi pinjaman cicilan motor. Memang hanya motor, tapi aku bahagia sekali
dengan yang dia dapatkan. Berulangkali dia minta-maaf tak bisa membeli mobil seperti
yang pernah kumiliki. Aku katakan motor yang kita miliki jauh lebih mewah dari
mobilku dulu. Karena motor ini bukan sekedar dibeli dengan uang, tapi juga
dengan cinta.
Kehidupan perkawinan kami teramat indah, kalau di
rumah nyaris kami tidak bisa berjauhan. Tiap hari bagi kami adalah bulan madu.
Setahun kemudian lahir anak kami. Bayi itu sebut saja 'Faisal'. Mas Fariz yang
membacakan Azan dan iqomat sesaat setelah lahir. Aku merasa lengkap
kebahagiaanku. Setiap hari bertambah bahagia bisa merasakan 2 orang
"Fariz" dalam rumahku. Saat mas Fariz ke kantor, aku di temani Fariz
kecil. Aku mencintai 2 orang yang sama darah dagingnya.
3 tahun anak kami hadir. Mas Fariz bercita-cita
mendatangi orangtuaku, oma-opanya Faisal. Dia ingin perkenalkan cucu mereka dan
menyatukan aku dengan papa-mama. Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan
meluluhkan hati orangtuaku. Tapi tiap menelpon, papa-mama bersikap seperti
dulu. Bahkan waktu kukatakan bahwa mereka
punya cucu dariku, mereka menjawab, kalau mereka tak merasa punya
keturunan dariku…Ohh! malangnya anakku. Aku teramat sedih, teganya papa-mama.
Aku maklumi masih membenciku, tapi jangan pada anakku, cucu mereka.
Tidak Putus Dirundung
Malang
Dia yakin papa-mama akan menerima kami. Sebelum
harapan terpenuhi, musibah mulai datang ....
Suatu hari suamiku pulang lebih awal karena merasa
nggak enak badan, seperti masuk angin. Aku menyuruhnya segera istirahat, tidur
dan memberi obat penghilang sakit. Malamnya tubuh panas menggigil. Keesokannya
aku bawa ke dokter dan dikatakan hanya demam biasa sehingga hanya diberi obat
penurun panas. Tapi malamnya tubuh tetap panas, menggigil dan mengigau. Dia
menolak untuk dibawa ke RS bilangnya demam biasa.
Hari ke-4 kondisinya parah dan pingsan, dari hidung
keluar darah. Di RS Hasil periksa darah,
trombosit tinggal 26.000 normalnya diatas 150.000. Suamiku kena demam berdarah,
Dokter menyalahkan kenapa tak segera dibawa ke RS lebih awal, karena serangan
terberatnya di hari 5. Kalau kondisi tidak kuat, amat berbahaya.
Hari ke 5 makin parah, napasnya berat, trombositnya
tidak naik. Malam itu setengah mengigau, dia memanggilku, aku genggam
tangannya, aku dekati telingaku ke mulutnya, aku dengar dia coba ucapkan
sesuatu. Air matanya meleleh. Dia ucapkan "Maafkan aku" Aku tenangkan
dia, kalau tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku ikhlas mendampinginya. Setelah
mendengar kata_kataku dia tenang, dengan 1 tarikan napas dia ucapkan "La
ilaaha illa llaah" lalu meninggal dalam pelukanku.
Aku ingat ucapannya, jika Allah izinkan, dia ingin
meninggal di pelukanku. Aku memarahi dia, jangan bilang seperti itu. Tapi dia
serius, kalau dia tak sanggup kalau aku meninggalkannya. Ternyata Allah kabulkan. Orang yang aku jadikan sandaran
hidup telah pergi. Tidak terkira sedih hatiku. Andai tidak ingat anakku, aku
ingin menyusul Mas Fariz.
Mas Fariz jujur dan baik, seluruh rekan kerjanya
dan big boss hadir melayat. Kantor memberi santunan 4x gaji, ditambah uang
duka. Aku ditawari kerja di perusahaan tersebut. Tapi aku rasa setengah nyawaku
hilang. Selama 3 bulan berduka, aku tidak sanggup melakukan apapun.
Sementara aku di rumah mertua agar Faisal ada yang
mengasuh. Rumah dan motor dijual, karena tidak sanggup kubayangkan kenangan Mas
Fariz. Hampir setengah tahun di rumah mertua, aku putuskan kembali ke kota
asalku. Sebenarnya ibu mertua amat baik dan penyayang. Tapi aku tahu diri tidak mungkin bergantung ke siapapun. Aku
harus mandiri demi anakku satu-satunya.
Di kota asalku aku mengontrak rumah dan membuka
toko kecil. Mungkin karena masih berduka dan terbayang suami hingga kurang
mikirkan usahaakhirnya bangkrut. Uang
habis untuk membayar tagihan suplier.
Aku sebenarnya tidak pernah putus asa apapun aku
jalani asal halal. Pernah jadi pelayan restoran beberapa bulan dan berhenti
karena anakku tak ada yang menjaga. Akhirnya aku kehabisan uang tak sanggup
bayar kontrakan. Dengan koper isi pakaian dan menggendong anakku berjalan tanpa
tujuan. Aku bingung akan kemana. Pernah terlintas di benakku untuk kembali ke
keluargaku. Tapi dengan kondisi ini mereka pasti merasa menang, tertawa
terbahak dan mengejekku seumur hidupku bahwa aku gagal memilih jalan hidup.
Dibawah Naungan Islam
Ditengah perasaan putus asa, kuteringat masjid
tempat aku pertama kali mengucapkan kalimat syahadat. Masjid itu bukan Masjid Raya
di kota kami, tapi masjid tua bersejarah, maka banyak jemaah berziarah. Aku
berpikir, dulu aku memulainya dari masjid itu, sehingga kalaupun jalan hidupku
berakhir aku ingin di masjid itu pula. Aku datangi masjid tersebut Dan aku
shalat mohon petunjuk. Anakku kelelahan tertidur di sampingku.
Aku tidak punya uang untuk membeli makanan dan
hanya bisa menangis. Rupanya tangisku didengar seorang bapak dan beliaulah imam
masjid tersebut dan dia pula yang dulu membimbing aku membaca syahadat. Aku
tidak lupa dengan wajahnya tetapi dia pasti tidak ingat, karena wajahku tidak
sesegar dulu lagi. Sewaktu aku perkenalkan diriku dan aku katakan bahwa aku
dulu mualaf yang beliau bimbing, dia langsung ingat tapi juga kaget dengan
kondisiku seperti ini.
Akhirnya aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab
aku merasa tidak ada lagi orang di dunia ini yang aku jadikan sandaran hidupku.
Setelah mendengar kisahku dia menyuruhku jangan
pergi - tetap tinggal di masjid. Beliau menyuruh seorang jemaah membelikan
makanan untuk aku dan anakku. Sebentar kemudian dia meninggalkan aku sambil
berpesan akan segera kembali (rupanya dia mencari tempat untuk aku tinggali).
Tidak lama beliau kembali. Sambil tersenyum dia katakan, mulai malam ini aku
memperoleh tempat tinggal. Aku diajak ke belakang masjid disitu ada bangunan
tambahan terdiri beberapa ruangan. Biasa
dipakai untuk gudang peralatan masjid, seperti tikar, kursi dan lainnya. Salah
satu ruang tampak sudah kosong. Dia menunjuk bahwa itulah rumahku. Aku boleh
menempati selama mungkin aku mau.
Ruang sebelahnya ditempati Pak Tua penjaga masjid,
sehingga aku ada yang menemani. Ruangan itu berukuran kurang lebih 2x2m. Pak
Imam masjid menambahkan, aku diberi honor sekedarnya jika mau membantu
membersihkan masjid, sehingga cukup untuk makan. Beliau tambahkan kalau aku
bisa datang ke rumahnya sekedar membantu istrinya memasak. Rumah beliau hanya
beberapa ratus meter dari masjid.
Alhamdulillah, aku amat bersyukur ternyata Allah
mendengar doaku. Aku ingat, bahwa Allah tidak akan menguji hambanya melebihi
beban yang sanggup dia pikul. Aku bersyukur memperoleh tempat berteduh, walau
hanya kamar kecil (jauh lebih kecil dibanding kamar mandi saat di rumah
orangtuaku). Ada lagi yang membuatku tenang yaitu aku tinggal dekat rumah
Allah, setiap merasa sedih, aku tinggal masuk masjid mengadukan langsung pada Allah. Karena
tinggal dekat masjid otomatis shalatku tidak pernah terlewatkan sekalipun.
Alhamdulillah, hidupku sedikit demi sedikit mulai
tenang. Aku sering membantu istri Pak Imam memasak di rumahnya. Imbalannya
beliau selalu membekali makanan untuk aku bawa pulang. Sehingga aku tidak perlu
risau memikirkan makanan harian. Kalau Pak Imam sekeluarga ada keperluan keluar
kota, akulah yang dititipi menjaga rumahnya dan bisa tinggal di rumahnya.
Sebenarnya mereka menawarkanku tinggal bersama mereka. Tapi aku tahu diri tidak
mau terus menerus merepotkan orang lain.
Pekerjaanku setiap hari membersihkan halaman
masjid, membersihkan kaca jendela, Sedangkan Pak Tua mengepel lantai masjid.
Tiap minggu aku mendapatkan honor sekedarnya dari hasil kotak amal, tapi kadang
aku tidak mendapatkan sepeserpun, karena kadang sudah habis untuk keperluan
masjid, tapi aku lakukan itu dengan senang hati dan ikhlas. Sementara ini aku
benar-benar ingin mengabdi pada Masjid ini - sebagai tanda terimakasih. Aku
tidak mau bersusah-payah mencari pekerjaan. Aku percaya kelak masjid ini akan
memberi jalan memperoleh pekerjaan.
Kadang pada malam hari aku duduk di teras masjid,
mengobrol dengan Pak Tua. Dia bercerita, anak-anaknya ada di kampong, tapi dia
tak mau merepotkannya. Selama masih kuat, dia tak mau merepotkan orang lain.
Lalu saat giliran aku bercerita, kadang aku bingung harus cerita apa...???
Apa aku ceritakan kalau dulu aku pernah naik kapal
pesiar keliling EROPA, tidur di hotel mewah di LAS VEGAS atau saat kuliah punya
apartment mewah di Australia …Ahh! Pasti dia tertawa menganggap aku berkhayal. Jangankan tidur di
hotel, uang yang aku punya tidak lebih dari Rp 20.000,-
Dulu tiap minggu aku bisa beli peralatan makeup,
eye-shadow, lipstick jutaan rupiah. Kini makeup aku air wudhu sebelum shalat.
Tapi justru banyak yang mengatakan wajahku tetap bersih, cantik alami. Kadang
orang berpikir aku masih memakai makeup. Yah…! mungkin Allah yang
memakaikannya. Kecantikan dari dalam “Inner Beauty” Banyak yang bilang dengan mata sipit dibalik
kerudung, aku terlihat cantik.
Tanpa terasa hampir 2 tahun aku menetap disini,
anakku sudah sekolah SD dekat masjid milik yayasan dan tanpa membayar
sepeserpun. Aku hanya membeli seragam dan alat sekolah. Bahagianya hati melihat
anak aku masuk sekolah…ohh! seandainya mas Fariz masih ada dan melihat anak
kita di hari pertama sekolah.
Anakku rupanya tumbuh besar dalam keprihatinan
sehingga sangat tahu diri. Tak pernah sekalipun merengek minta dibelikan ini
itu seperti layaknya anak lain. Pernah hatiku amat pilu. Ketika dia pulang
sekolah dengan kaki telanjang sambil menenteng sepatunya. Sambil tertawa, tanpa
mengeluh, dia justru menunjukkan sepatunya.
"Ma, sepatu Faisal sudah minta makan"
Sepatunya robek depannya, seperti mulut minta makan. Melihat dia tertawa, aku
ikutan tertawa, walau hati ingin menangis. Andai dia tahu dulu mama selalu
memakai sepatu harga jutaan. kini, membelikan sepatu anakku yang murah aku
belum sanggup. Alhasil selama 2 hari anakku ke sekolah memakai sepatu robek,
hingga aku belikan sepatu bekas layak pakai.
Aku bersyukur punya anak amat tahu diri. Tidak mau
membebani ibunya. Anak saleh akan menjadi bekal amat bernilai buat orangtua.
Pak Imam masjid kadang menengok dan menanyakan keadaan kami. Dia sering cerita,
bagaimana istri Muhammad SAW hidup jauh
lebih menderita, tapi tetap tabah. Beliau bilang, aku pasti akan menjadi ahli
surga. Berulangkali dia katakan, orang lain tidak akan sanggup menghadapi
cobaan ini, tapi aku tetap bertahan memegang keyakinan, meninggalkan kenikmatan
dunia yang justru pernah kuperoleh.
Suatu siang, aku melihat mobil datang ke halaman
masjid. Dari dalam mobil keluar 2 orang yang aku kenal. Yang satu Tante Grace,
satunya Oom Albert. Mereka lawyer perusahaan dan keluarga kami. Entah bagaimana
mereka bisa mengetahui aku ada disini. Mereka membawa sebundel amplop, mengajak
aku berbicara. Aku lihat mata Tante Grace
memerah menahan airmata saat melihat tempat aku tinggal. Bahkan Oom
Albert suara bergetar, lehernya tersekat menahan sedih. Mereka diutus orangtua
aku. Karena orangtuaku sudah tahu bagaimana keadaan aku sekarang. Mereka
katakan dalam amplop isinya surat bank, ATM, Ijasahku yang bisa aku miliki
lagi. Bahkan aku dijemput pulang ke rumah mama-papaku.
Sejenak aku bahagia, kupikir orangtuaku terbuka
hatinya, aku bisa pakai uang yang banyak untuk hidup lebih baik. Tapi dengan
terpatah-patah Oom Albert melanjutkan, mama-papa memberi syarat. Saat kutanyakan syaratnya. Keduanya nyaris tidak sanggup
melanjutkan.
Tante Grace makin menunduk menahan tangis. Akhirnya
oom Albert mengatakan syaratnya aku dan anakku harus kembali ke keyakinan lama.
Saat itu juga aku langsung menjawab, kalau aku tidak mau menerima amplop itu
dan aku katakan agar dikembalikan ke papa. Keduanya amat sangat minta maaf
padaku, karena mereka tahu aku tersinggung. Tapi aku juga sadar keduanya hanya
menjalankan tugas. Bahkan Tante Grace katakan, andai mengikuti nurani pasti
mereka serahkan itu amplop padaku tanpa syarat apapun, tapi mereka terikat
profesi.
Keduanya pamit. Tapi tidak lama kemudian kembali
lagi, aku pikir ingin membujuk. Rupanya mereka berinisiatif fotocopi ijasah dan
menyerahkan copy-nya padaku. Mereka inisiatif
sendiri resikonya kehilangan pekerjaan. Mereka bilang hanya itu yang
bisa mereka lakukan untukku.
Alhamdulillah. Sedikit demi sedikit Allah memberi
jalan untukku. Akhirnya aku punya bukti
kalau aku pernah sekolah tinggi meraih Master bidang keuangan (finance) di luar
negeri.
True Happiness
Rupanya Allah cukup menguji dan memberi rewards
atas ketabahanku.
Suatu pagi 2 orang mengamati bangunan masjid, wanita kulit putih dan lokal. Pak Tua ada di halaman Masjid,
maka mereka menghampiri. Masjid kami memang unik, bangunan tua dengan arsitektur
Melayu Kuno dan sering dikunjungi. Biasanya Pak Tua menjadi juru-bicara karena
dia paling tahu sejarah masjid. Aku banyak mendapat cerita dari Pak Tua
sehingga aku tahu sejarah masjid kami.
Dari jauh tampak keduanya mengobrol dengan Pak tua,
sampai akhirnya kulihat si Kulit Putih kebingungan. Akupun menghampiri dan dengan sopan
memperkenalkan diri serta menawarkan bantuan.
Ternyata dia mahasiswi Arsitektur dari Australia
dan ditemani mahasiswi Arsitektur
universitas T di kotaku sebagai penterjemah (panggil saja Retno).
Rupanya bahasa Inggris Retno kurang lancar hingga si Bule kebingungan mendengar
terjemahan cerita Pak Tua. Dengan sopan aku mengajukan diri membantu si Bule.
Dengan bahasa inggris sangat lancar, aku ceritakan
semua hal tentang masjid. Aku ajak berkeliling ke tiap sudutnya. Si Bule
bertambah takjub saat kukatakan pernah study di negerinya. Retno terus
memandangiku setengah tak percaya. Setelah puas mendapat informasi, sebelum
pulang Retno berjanji menemuiku segera, ingin menanyakan banyak hal tentang
diriku. Dengan senang-hati akan kuterima
kedatangannya kapan saja.
Beberapa hari kemudian Retno menemuiku. Dia amat ingin tahu siapa diriku.
Aku ceritakan semua perjalanan hidupku sampai saat ini. Dia amat bersimpati dan
ingin menolong. Walau tak mengharap pertolongan orang lain, tapi kuhargai
niatnya. Dia bilang dengan pendidikan dan kemahiran bahasa asing akan mudah
mendapat pekerjaan, apalagi ada copy ijasah. Seminggu kemudian dia datang
membawa kertas dan amplop, menyuruh
membuat surat lamaran.
Informasinya Rektorat memerlukan tenaga honorer.
Aku terharu ada orang peduli mau membantu tanpa pamrih, aku ucapkan banyak
terimakasih padanya. Bagiku dia seperti diutus Allah untuk menolongku. Tidak
lama kemudian aku mendapat kabar gembira, aku dipanggil ke Rektorat untuk test
dan wawancara. Sebelum berangkat aku shalat memohon kepada Allah agar diberi
kelancaran. Anakku aku titipkan pada Pak Tua yang kuanggap sebagai orangtua
sendiri.
Alhamdulillah, test
berjalan lancar. Saat wawancara justru Bahasa Inggris lebih aku kuasai
dibanding pewawancara. Dia bilang English-ku perfect.
Beberapa hari kemudian dia datang dan tampak
gembira sekali, katanya dalam beberapa hari aku akan mendapat surat dari
Rektorat yang isinya diterimanya aku sebagai honorer. Dia tahu informasi karena
temannya bekerja disana. Aku segera
menuju masjid dan bersujud syukur lama sekali. Kurasa aku lulus semua test yang
diujikan Allah. Sering aku bertanya pada
Allah, apakah karena aku mualaf sehingga Allah kurang percaya pada keimananku
hingga perlu diuji dengan ujian amat berat.
Walau hanya honorer aku sangat bersyukur, yang
penting aku memperoleh penghasilan layak. Pekerjaan membantu Bagian Keuangan di
Rektorat, memang sesuai dengan ilmuku. Mulai banyak yang tahu kalau aku lulusan
luar negeri. Setiap seminar yang memerlukan makalah bahasa Inggris pasti aku
yang diberi tugas penyusun makalah.
Aku banyak membantu penterjemahan litelatur asing
untuk mahasiswa. Nyaris 3 tahun terakhir, aku tidak pernah membeli baju baru.
Dengan gaji sekarang aku bisa membelinya. Aku amat sangat senang bukan main,
bisa membelikan pakaian anak. Bahagia melihat anak berpakaian layak. Pakaian
sekolahnya sudah menguning, kini aku beli yang baru, putih bersih dan sepatu
baru. Sepatu lamanya robek dan kusimpan sebagai kenangan.
Tak lama kemudian aku mengontrak rumah.
Sebelum aku meninggalkan Masjid tak lupa
pamitan ke rumah Pak Imam mengucapkan terimakasih atas pertolongannya, beliau
katakan yang menolong bukan dia tapi Allah yang menolongku. Aku memeluk dia
lama sekali. Aku katakan dahulu aku ucapkan syahadat di depannya dan aku tak
akan pernah mengingkarinya seumur hidupku, apapun yang terjadi.
Sebelum pergi kupandangi kamarku untuk terakhir
kali, sempat beberapa menit tertegun, membayangkan, mungkin kelak ruangan ini
dipakai oleh orang yang senasib seperti aku.....
Aku harap Semoga Allah memberinya kekuatan....
Setelah melewati segala cobaan, Allah terus-menerus
memberi semacam rewards, belum setahun bekerja, Rektorat memberi kabar statusku
menjadi karyawan tetap. Beberapa dosen senior menawari posisi asisten dosen.
Rekan kerja mengatakan karirku amat bagus. Orang berkualifikasi sepertiku amat
dibutuhkan. Mereka bilang kesuksesan hanya menunggu waktu.
Aku hanya mengucap Alhamdulillah. Dahulu aku sering
berdoa dengan linangan airmata kesedihan, sekarang sering menangis saat berdoa,
tapi kali ini aku menangis bahagia. Sampai saat ini aku sendirian, aku bertekad
membesarkan anak sebaik-baiknya. Aku masih merasa istrinya mas Fariz. Seperti
yang aku pernah katakan, dia bukan hanya suami, tapi soulmate dan tidak
tergantikan. Tetapi entah kalau Allah mempunyai rencana lain. Tiap memandang
anakku, aku seperti melihat mas Fariz. Seolah dia masih mendampingiku.
Alhamdulillah! kini aku mampu membeli motor. Di
akhir pekan aku sering berboncengan dengan anakku jalan-jalan atau sengaja
lewat di depan rumah orangtuaku, sambil aku katakan bahwa itu rumah opa-oma.
Sering anakku bertanya, "Ma kapan kita pergi ke rumah oma-opa? " Aku
tersekat tak bisa menjawab sebab menahan airmata. Aku terus berdoa, semoga suatu saat kelak
orangtuaku dibukakan hatinya, jika tak mau menerimaku lagi, mohon diterima
anakku – cucu mereka.
Wassalam,
Mawar.
Catatan saya:
Ada beberapa petunjuk penting. Disebutkan kisah
terjadi di kota P dan akhirnya bekerja di Universitas T tempat Retno (penulis
kisah ini) kuliah di Fakultas Arsitektur. P bisa jadi:
1. Pontianak
ada Universitas T (Tanjungpura). Populasi melayu besar pendukung kesultanan
sejak 3 abad lalu menyisakan Masjid Melayu Kuno - tempat tinggal Mawar.
Pertanyaannya : Apakah Universitas Tanjungpura ada Fakultas Arsitektur sebelum
tahun 2006? Ya, ada. Dibuka tahun
2003 http://kampusbagus.com/s1-arsitektur-universitas-tanjungpura/
2. Palembang – ada beberapa Masjid arsitektur
Melayu Kuno peninggalan kesultanan Melayu Palembang. Dan ada Universitas
Tridinanti dengan Jurusan Arsitektur yang mendapat izin penyelenggaraan th
2005. No. 2629/D/T/2005 tanggal 10 Maret 2005 tentang ijin penyelenggara
Program Studi Arsitektur.
Lebih mungkin kisah ini terjadi di Pontianak.
Sudahlah yang penting substansinya semoga menginspirasi ketabahan saat harus
mempertahankan keimanan.
Catatan Publisher Pertama:
Kisah ini dikirimkan ke email saya dari seorang
teman tahun 2006 dan sempat hilang tapi ada teman lain di facebook yang
mempublikasikan jadi akhirnya saya minta ijin untuk copy dan edit.
Related Posts
Missing-Link : Titik Lemah Kurikulu...
Nubuwwat : Realitas Tanda Menjelang...
Jurnalis Jepang Nyatakan Syahadat d...
Label: All
about Mualaf (new Muslim), Qolbu
Diposkan
oleh Yusufzulkarnain Pulogebang Cakung
Hari Minggu, September 18, 2011
3 komentar
dan respon:
veralestari16 mengatakan...
kalau tidk salah, tmn kos sya prnah bercerita bhwa
ada ttganya yg mmpunyai kisah yg sama dengan kisah di atas,,
wanita itu ktrunan chinese dan hnya hidup dgn ank
laki2 smata wyangnya,,
dlu dia anak org kya,, kmudian hdup trlunta2 krna
jd mualaf,,
skrg hdupnya sudh mapan,,
dia org palembang,, krn d plmbg bnyk etnis china,,
wallahu'alam
yg psti kisahnya sgt mnyntuh hati,,
smga beliau selalu diistiqomahkan,,
slm ukhuwah dr plmbg :)
17 Juni 2012
10:56